Sisi lain ‘pigura’ Lasem selanjutnya, yakni 8 pengrajin batik di Rumah Batik Nyah Kiok. Mimik wajah, tangan yang lentur, sikap tubuh dan mata bagai sinar yang memancar terang. Maka, muncul dalam benak istilah “5K yang terang”, kekagumana saya yang berasal dari Ketenangan, ketelitian, konsentrasi, kecepatan, dan kesabaran mereka saat membatik.
“Mengapa memilih membatik daripada berjualan makanan?”, dengan kompak 8 wanita pembatik itu menjawab,”bikin tenang, Mbak.”
“kalau jualan makanan, ada modal, harus mikir belanja dan buka-tutup warung setiap hari. Membatik tidak banyak pikiran dan setiap sore langsung dapat duit,” sesederhana itu jawaban mereka.
Delapan wanita pembatik Nyah Kiok Lasem sudah mampu membatik sejak kecil. Bahkan ada yang telah bekerja selama 50 tahun lebih, yakni Mbah Suti. Orang tua Mbah Suti juga pembatik, pulang sekolah Mbah Suti membatik untuk membantu keuangan keluarga. Biasa, Mbah Suti meneruskan pekerjaan Ibunya yang belum selesai. Saat senggang, Mbah Suti mencuri waktu untuk belajar pelajaran sekolah. Profesi pembatik merupakan profesi turun-menurun, anak dan cucu Mbah Suti pun berprofesi sama, hanya berbeda tempat membatik.
Batik Nyah Kiok Lasem hanya punya satu pola “Gunung Ringgit Pring” sejak kemunculannya mengisi ragam motif batik di Lasem. Berarti Mbah Suti telah membatik corak yang sama selama 50 tahun. Motif Ringgit Pring dilestarikan oleh Nyah Kiok yang meninggal dunia pada tahun 2008, kemudian usaha batik diteruskan oleh keponakan, kemudian anaknya.
Sedangkan pring sendiri berarti dedaunan pohon bambu yang kerap ada di halaman belakang rumah. Delapan pembatik Batik Nyah Kiok memang tidak mengerti makna dari motif Gunung Ringgit Pring, namun keseluruhan proses pengerjaan dari mengambar sampai menjadi kain batik siap jual, dilakukan sepenuhnya oleh 8 pembatik Nyah Kiok. Biasa di tempat lain, proses pembuatan batik dilakukan oleh beberapa orang, tapi tidak di Batik Nyah Lasem.
Melihat mereka membatik motif yang sama bertahun-tahun, mengerjakan semua sendiri, dan berbagi makanan di sela-sela mencanting, 5K yang Terang versi saya bertambah menjadi 8K yang Terang, penambahannya: Kesetiaan, Ketulusan, dan Kebersamaan. Hebat, kan, delapan pembatik Nyah Kiok tersebut? Di antara dinamika aneka kehidupan yang meriah, saya menemukan suatu yang berbeda, yaitu kedamaian yang lebih riuh dari kemeriahan pesta di kota-kota besar.
Kemeriahan juga saya temukan di Kelenteng Cu An Kiong, Rumah Oei, dan Museum Nyah Lasem.
Letak bangunan Cu An Kiong mengikuti beberapa mata angin yang menyesuaikan feng shui. Di depan kelenteng (barat) terdapat sungai Lasem yang dulunya merupakan tempat bersandar kapal-kapal. Sebelah utara, terdapat laut dan sebelah selatan adalah hutan jati (dahulu). Bagian timur (belakang kelenteng) berdirilah pegunungan Lasem. Sedangkan pusat kota (pada abad ke-15) berada di tenggara kelenteng – saat itu terdapat alun-alun, Mesjid, dan Kadipaten Lasem.
Sebelum kelenteng didirikan, karena pusat kota yang mulai ramai, masyarakat Tionghoa yang berada di desa-desa pinggir pantai, membuat pemukiman di sekitar wilayah kelenteng. Selanjutnya, mereka membangun kelenteng berdasarkan feng shui, bertujuan untuk menciptakan harmoni. Kelenteng Cu An Kiong telah mengalami dua kali renovasi, yaitu pada tahun 1838 dan 1900.
Di dalam kelenteng, saya berjumpa Dewa Laut, Dewa Bumi, dan Dewa Pelindung Kota yang diletakkan di altar utama kelenteng. Tentu saja keberadaan ketiga dewa punya hubungan dengan mata angin utara, barat, selatan, timur, dan tenggara.
Ada kisah di balik Dewa Laut yang menjadi altar utama. Tatkala orang-orang Tionghoa sampai di Jawa, mereka merasa dilindungi, selamat dari kondisi laut yang kadang tenang, kadang diterpa badai yang ganas.
Dewa Bumi menandakan alam yang memberikan makanan dan minuman kepada mereka. Dewa Pelindung Kota, dipilih karena harapan terciptanya keharmonisan antar masyarakat. Memunjukkan, mereka telah memahami tata kelola kota, dan berpikir keberlanjutan sampai jangka waktu yang panjang.
Selain altar utama, terpampang Creation of Gods berjumlah total 90 gambar di sisi kanan dan sisi kiri dinding dalam kelenteng. Creation of Gods berasal dari novel berisi 100 bab yang dibuat pada abad ke-16 (era dinasti Ming). Novel ini sangat terkenal di Tiongkok maupun masyarakat etnis Tionghoa dari negara-negara, seperti Hongkong, Taiwan, dan lainnya. Pun, Creation of Gods banyak disadur oleh penulis Tionghoa luar, termasuk penulis peranakan Tionghoa–Indonesia dengan judul Penganugerahan Malaikat, berbahasa Melayu dan Belanda.
Salah satu cerita Creation of Gods mengisahkan seorang raja bernama King Zhou yang menjadi lalim. Suatu hari ia masuk ke dalam kelenteng dan melihat sosok Dewi Nuwa, lalu jatuh cinta. Ia mengekspresikan cintanya melalui puisi erotik yang ia goreskan di dinding kelenteng. Mengetahui hal ini, Dewi Nuwa sangat marah dan mengutus siluman rubah untuk masuk ke tubuh seorang perempuan yang akan menjadi permaisuri.
Permaisuri inilah yang memicu King Zhou menyiksa dayang-dayang dengan merantai kemudian membakar mereka ke dalam lubang ular. Penyiksaan terus terjadi dan membuat rakyat bergerak untuk melawan. Melihat itu, langit mengutus pahlawan-pahlawan untuk membantu perlawanan rakyat. Kisah ini divisualisasikan di sisi kanan kelenteng (jika sisi dilihat dari pintu masuk depan kelenteng).
Cerita gambar visual novel Creation of Gods, saya peroleh dari teman saya, Mas Pop, local host Lasem. Dia juga bercerita tentang motif megamendung yang selalu ada di kelenteng-kelenteng Lasem maupun di gerbang dan beranda depan rumah masyarakat Tionghoa di Lasem. Dalam Taoisme, megamendung menggambarkan awan yang berarti dunia atas.
Kelenteng Cu An Kiong juga memampang nama-nama donatur beserta jumlah uang untuk renovasi kelenteng. Setiap motif, tulisan, patung ataupun benda-benda di Kelenteng Cu An Kiong punya cerita masing-masing. Barangkali bisa satu hari atau lebih untuk mendengarkan isi kisah Kelenteng Cu An Kiong.
Lalu, saya jadi mengingat benda, angka, hewan, angin, manusia, peristiwa, dan apa saja yang dilihat, dihirup, dikunyah, didengar, dan bersama siapa suatu peristiwa terjadi, semuanya memiliki cerita masing-masing. Manusia senang dengan cerita, namun tidak semua bisa memelihara cerita dengan baik. Sebab suatu cerita akan menjadi kenangan.
Kosakata kenangan terasa kuat dimiliki kota Lasem. Lihat saja rumah-rumah di Lasem yang masih membiarkan arsitektur tempo dulu, bahkan barang-barang peninggalan keluarga yang sudah almarhum secara turun-menurun. Ada yang menyimpannya dengan bersih, dan ada pula dengan debu yang tebal, malah sampai berwarna hitam.