Rahung Nasution: Kesaktian Lidah Melalui Pancasila

0
398
Rahung Nasution - Dok: Hak Milik Rahung Nasution

Dulu saya menganggap bahwa makanan hanya kebutuhan saja. Makanan, ya, makanan! Setelah perjalanan ke berbagai daerah, saya baru sadar, cara paling demokratis mengerti negeri ini, ya, melalui makanan.”- Rahung Nasution.

Petikan di atas saya ambil dari acara bincang yang diselenggarakan program Lan Ngorta, 1 Juni 2019, Taman Baca Kesiman, Denpasar, Bali. Memang sudah lama, namun inti perbincangan dari Rahung Nasution cukup menarik, yakni menghubungkan lidah dengan Pancasila.

Dari sebuah lidah, tanpa disadari, terkumpul pengalaman rasa-rasa yang berasal dari perjalanan. Riwayat hidup pun bercerita, dari mana awal petualangan rasa yang mengasyikkan itu.

Selintas Perjalanan Lidah Rahung Nasution

Televisi. Benda inilah yang menjadi awal kisah perjalanan Coki (nama panggilan Rahung Nasution). Suatu barang visual yang menciptakan mimpi.

Coki berasal dari keluarga yang sedang-sedang saja. Jika menginginkan sesuatu, belum tentu permintannya dituruti oleh orang tuanya. Seringkali, Coki dilarang bermain di pasar, khawatir mereka tidak bisa membayar barang atau makanan yang diinginkan Coki.

Untuk pergi ke sekolah, Coki harus menempuh jarak 40 kilometer dengan berjalan kaki. Mau tak mau, Coki dan kakak-kakaknya serta sepupu, mengontrak satu rumah yang bisa buat tidur 10 orang. Agar tidak kelaparan, mereka harus memasak sendiri dan punya jadwal bergilir.

Kedua situasi  tersebut memantik Coki untuk meraih mimpi-mimpi. “Jika tak keluar dari kampung, aku tidak akan jadi apa-apa,” pikir Coki waktu itu. Cara paling memungkinkan supaya bisa sampai di Jakarta adalah Kabur dari Rumah. Meski demikian, dia tetap berpegang pada tradisi suku Batak, bila merantau, harus pulang membawa nama baik, tahta, dan harta.

Pertama kali, Coki bekerja di sebuah perusahaan kayu. Lalu keluar dan bertemu orang sesama etnis di Palembang, bekerja sebagai penjual roti. Tapi uang yang dikumpulkan selama 6 bulan kabur dari rumah, belum cukup membiayai perjalanan ke Jakarta. Lagi, Coki berpindah kota, sampai pada tahun 1986, dia berjualan tali sepatu di Bandung. Beberapa tahun setelah itu, sampailah Coki di kota Jakarta, bersamaan dengan rencana kunjungan Pangeran Charles dan Lady Di. Waktu itu, Jakarta harus bersih dari pengemis. Tak mau diusir dari kota impian, Coki kembali meneruskan sekolah di kampungnya.

Setelah lulus SMP, Coki pamit kepada ayahnya, untuk melanjutkan SMA di Yogyakarta. Tahun pertama di Kota Gudeg, Coki menumpang salah satu rumah kontrakan mahasiswa UGM dari Nias. Untuk membalas kebaikan mereka, Coki menugaskan diri sendiri untuk memasak.

Tinggal bersama mahasiswa Nias, Coki berkenalan dengan teman-teman mahasiswa dari berbagai daerah di Indonesia dan menjadi akrab. Seringkali ketika berkumpul, muncul gagasan-gagasan yang sinting. Ketika mengetahui tidak lulus UMPTN, dia memutuskan untuk berkumpul saja dengan mereka. Itu lebih baik daripada ayahnya menjual sawah agar dia bisa kuliah di perguruan tinggi swasta.

“Berteman dengan mereka telah membentuk saya seperti saat ini,” cerita Coki.

Karena mereka jugalah, Coki belajar wawasan rasa. Dia mengaku, dulu, tidak suka makan gudeg. Gudeg itu bukan makanan, tapi camilan! Mempunyai teman beragam asal-usul akhirnya mematahkan hal itu. Sehingga Coki mulai menyukai gudeg dan keragaman rasa pada masakan teman mahasiswa dari berbagai daerah Indonesia. Dia berkesimpulan, bila membiasakan lidah menerima pengalaman rasa yang berbeda, otomatis bisa menerima keragaman budaya. “Jika tidak, berarti ada masalah dengan lidah kau!”

Menurut Coki, setiap orang punya ‘Ibu’-nya sendiri – makanan khas yang bersumber dari hasil alam dan tradisi sendiri – ataupun hasil akulturasi daerah tersebut. Setiap Ibu memiliki dapur masing-masing, yang menyertakan satu orang lebih menjadi bagian dari proses budaya. Tidak berbeda dengan dapur kontrakan mahasiswa, pertukaran rasa yang terjadi waktu itu pun bermula dari dapur.

Photo by Naomi Hebert (Unsplash)

Dapur dan Peradaban

Dapur-dapur di bumi Nusantara telah meyuguhkan aroma keragamanan, yang menciptakan rasa dan sensasi berbeda di lidah masyarakat Indonesia. Dapur di Nusantara tidak hanya berfungsi sebagai tempat memasak, melainkan ruang berkumpul dan mempererat hubungan.

Di Mandailing, dapur itu berguna sebagai tempat berkumpul keluarga dan para kerabat, begitu pula di Bali – ruang untuk menerima tamu hanya di bale bengong, selanjutnya percakapan panjang terjadi di dapur. Topik apa pun bisa dibicarakan, termasuk menyelesaikan masalah warga, ngobrol politik, panen, bahkan merayu anak gadis si pemilik rumah saat icip hidangan yang dimasaknya.

Berkunjung ke dapur tetangga maupun kerabat berbeda suku, kita akan belajar memahami kepribadian, bahkan mengenal leluhur mereka. Cara masak, penyajian, ritual, bahan serta bumbu, lalu berkembang pada cara berpikir, hidup, bahasa, pakaian, hasil alam, keyakinan, mantra dan pengobatan, hingga teknologi yang digunakan. Semua itu adalah pengetahuan yang perlu diturunkan kepada generasi penerus dan didokumentasikan agar lestari.

Pada malam penuh cahaya bintang dan bersahaja, Coki meneriakkan kepada kami, “kita adalah segalanya”. Stimulasi ini berhasil memicu kegairahan percakapan. Pengalaman perjalanan hidup Rahung Nasution sejak SMP sampai dewasa kini, membulatkan kesimpulan bahwa kita sebagai orang Indonesia, adalah orang-orang yang kaya.

Lalu, apa kabar naskah-naskah seperti lontar Caruban, Pusataha Laklak, Serat Centhini, Sanghyang Siksakandang Karesian, Babad Tanah Jawi, dan lainnya yang juga bentuk dokumetasi.

Makanan sebagai penyambung kehidupan manusia yang berasal dari dapur nenek moyang, banyak ditemukan dalam naskah-naskah kuno. Berisi aneka makanan dan rasa, kebiasaan mereka menyajikan makanan, cara hidup sehat dan pengobatan. Namun tidak dikenal masyarakat. Mungkin, karena mereka hanya berpikir bahwa makanan sekadar makanan, hanya kebutuhan. Dan tidak semua orang senang membaca, bagaimana mau mengenal naskah-naskah tersebut!

Sementara itu, pada masa kini, pengetahuan pengobatan dan jenis tanaman herbal yang dimiliki orang-orang tua atau ahli pengobatan suku Dayak maupun Mentawai, tak dilirik oleh generasi mudanya. Padahal, tanaman-tanaman yang digunakan mereka pun berasal dari hasil alam di hutan sendiri, bukan impor. Bagi mereka, hutan adalah kehidupan. Berdasarkan penelitian LIPI, hutan Kalimantan terdapat 500 jenis tanaman endemik, lebih dari setengahnya adalah tanaman obat.

Ketika berkunjung ke pelosok Kalimantan, Coki hanya punya niat mentato tubuhnya. Namun, yang dia temukan lebih dari tato, tidak saja pengetahuan tradisi, tapi juga permasalahan yang terjadi di sana.

Kembali pada tanaman yang tumbuh di Nusantara, Coki menyibak peredaran tempe di Indonesia saat ini. Coki bilang silahkan cek google, kedelai yang digunakan di Indonesia banyak berasal dari Amerika, di sana dipakai sebagai makanan ternak. Badan kesehatan di dunia telah mengakui bahwa tempe adalah makanan yang sehat. Tidak berbeda pengakuan terhadap jamu. Jangan sampai bahan-bahan untuk jamu dan lainnya berasal dari hasil alam luar negeri.

Terkait pengobatan, sebetulnya bumbu-bumbu rempah makanan tradisional Indonesia itu adalah obat. Tapi saat ini banyak bahan makanan mengandung pestisida, lahir dari hybird, dan yang lebih berbahaya ialah tanaman rekayasa genetika. Memang makanan organik sedang bergaung. Sayang, baru bisa dinikmati masyarakat yang punya duit banyak. Semestinya, makanan organik bisa dikonsumsi siapa saja, orang kaya maupun orang yang kurang sejahtera.

Sebagai pemasak pun punya pertanggungjawaban, harus menyajikan makanan yang berasal dari dapur yang sehat. Bagi Coki, urusan perut harus disesuaikan dengan pertahanan pertanian dan menjadi gerakan politik.

Berbagai masalah yang diungkap Coki, peserta lain dan saya setuju, bahwa urusan dapur bukan hanya urusan perempuan, tapi urusan semua orang. Sebab, makanan adalah urusan tradisi, keyakinan atau agama, budaya, geografi, sejarah, hukum, politik, sistem pemerintahan, teknologi, pertanian, ekonomi, sains, kesehatan, urusan semua bidang. Sekali lagi, peradaban terjadi di dapur!

“Jika kau hanya melihat dapur itu urusan perempuan, maka sesempit itulah dunia kau!”

Tiba-tiba, ada peserta bertanya, “Bagaimana membuat masakan Nusantara terkenal di dunia seperti makanan Thailand, Jepang, atau Itali?

Semur Ikan Tambak yang berasal dari kitab kuliner Indonesia “Mustikarasa”.

Rahung Nasution, pencerita Lan Ngorta kali itu mengatakan bahwa untuk mempopolerkan makanan Indonesia di tingkat dunia dibutuhkan orang-orang yang sinting. Sadar atau tidak, orang ‘sinting’ memiliki konsep Pancasila dalam kehidupannya.

Tapi, apa hubungan Pancasila dengan makanan?

Pernahkah terlintas bahwa tidak ada makanan Indonesia, yang ada hanya makanan daerah? Pendapat ini dikemukakan oleh William Wongso, yang disetujui Coki. Makanan Indonesia saja, belum tentu asli dari nenek moyang, tidak sedikit dari hasil akulturasi budaya antara Tionghoa, Arab, Eropa dan Nusantara, bahkan hasil alam di Indonesia banyak berasal dari negeri lain – seperti lada yang berasal dari India, atau cabai yang mulanya tumbuh di Meksiko. Wajar, makanan tradisional yang berada di Nusantara beraneka ragam dan bermacam rasa, serta kebiasaannya.

Namun perbedaan-perbedaan tersebut bisa disatukan melalui makanan, unity in diversity. Sehingga lidah tidak cuma memiliki kekayaan rasa, melainkan wawasan gastronomi. Seperti semua orang tahu, Bhineka Tunggal Ika ada pada tubuh Pancasila.

Pancasila bersama 5 sila tidak sekadar butir-butir kalimat maupun pajangan simbol negara. Telah jelas bahwa Pancasila sebagai dasar negara Indonesia, berarti juga menjadi landasan masyarakat dalam menjalankan kehidupan. Yang bisa diterapkan dari zaman ke zaman, secanggih apa pun era itu. Tapi, apakah kita benar-benar memahami ataupun mengaplikasikan Pancasila pada kehidupan kita?

Kita adalah Segalanya

Saya kembali mengutip Rahung Nasution, “Kita adalah segalanya”. Budaya luar dan kemudahan teknologi, barangkali juga obsesi menjadi negeri modern, membuat masyarakat, khususnya generasi muda dan pemerintah, lebih terpikat kesuksesan negara asing. Memang tidak salah punya impian maupun pemikiran seperti itu, tapi ada yang terabaikan di sini, yakni kekayaan yang Indonesia miliki dan ketidaktahuan bagaimana mengelola kekayaan tersebut.

Budayawan Betawi, Yahya Andi Saputra pernah mengutarakan pandangan terkait kuliner tradisional yang mulai langka, yang disebabkan kesulitan menemukan bahan-bahan khas makanan tersebut. Menurut Abang Yahya, bahan-bahan itu tidak ada yang langka, semua bahan bisa ditemukan dan diproduksi. Kesalahan terjadi karena transfer wawasan yang tidak berjalan baik, hingga makanan tersebut menjadi langka. Kelangkaan ini tentu saja kembali pada masalah pertahanan pertanian.

Lihat saja hutan di Indonesia yang sering terbakar, serta lahan padi dan tanaman potensial lain yang semakin terbatas. Ditambah belum ada pemahaman dan kesadaran masyarakat Indonesia menjaga potensi alam. Pun, masyarakat yang memulai berkebun, meski di pekarangan rumah sendiri, masih sedikit. Berkebun atau bertani menjadi hal yang ribet dan profesi yang dianggap remeh. Pergeseran cara pandang dan pola hidup kekinian memunculkan rasa enggan, apalagi berpanas-panasan di kebun, bahkan bersibuk ria di dapur. Di sisi lain, pertahanan pertanian seolah bukan fokus utama pemerintah. Padahal, selain organic food yang tren, masyarakat dunia juga sedang berupaya kembali pada ‘akar rumput’.

Salah satu peserta berpendapat bahwa pemerintah tidak men-support, dulu ada pelajaran memasak di sekolah, sekarang tidak ada. Orang tua zaman now harus bisa mengajarkan budaya masak kepada anak. Akar rumput akan tetap ada di rumah sendiri, dan kuliner Nusantara beserta potensi alam tidak perlu menjadi ‘anak tiri’ di Bumi Pertiwi. Generasi muda sekarang pun sering disebut sebagai generasi micin. Padahal, penambah rasa makanan bisa memakai ulam rebus, ebi, kaldu ayam, daging, atau ikan roa, dan banyak lagi. Perasa makanan alami seperti itu perlu diperkenalkan atau diajarkan kepada generasi penerus.

Bagaimana mau memperkenalkan masakan Indonesia kepada dunia, sedangkan banyak orang Indonesia gagal paham mengenai potensi lokal, bahwa kita adalah segalanya.

Makanan Indonesia bukan tidak diterima masyarakat dunia. Terbukti di Ubud, seperti restoran Mosaic, Locavore, dan Blanco par Mandif banyak digemari wisatawan asing. Ketiga restoran tersebut mem-plating masakan Nusantara secara seksi, memasak dengan teknik masak Prancis, tapi menggunakan bahan-bahan lokal yang merupakan kekayaan Indonesia.

Bentuk makanan tradisional dihidangkan dengan tampilan berbeda dan elegan, sebagai ‘umpan’ untuk merayu wisatawan asing. Sebab para chef di ketiga restoran tersebut sadar bahwa Indonesia mempunyai kekayaan rasa dan budaya yang luar biasa.

Salah satu  pasar di Nusantara

Malah mereka tidak segan ke pasar tradisional untuk membeli bahan makanan. Pasar-pasar di Indonesia punya warna berbeda, setiap pasar memiliki ‘irama’nya sendiri. Pasar pun termasuk bagian dari peradaban.

Mereka bisa saja disebut sebagai pelestari, walaupun tidak menyajikan bentuk makanan tradisional Indonesia yang asli. Tapi, mengapa bukan kita sendiri yang melestarikan kekayaan berlipat-berlipat itu?

Menurut Coki, ini masalah mentalitas bangsa yang inferior dan perlu dibenahi. Padahal melestarikan keragaman kekayaan yang kita miliki, bisa membuat bangga dan punya harga diri.

Kemudian, peserta lain berpendapat, “Kita bisa memulai pelestarian dengan sendiri-sendiri dan tidak tergantung pada pemerintah.”

Coki langsung menanggapi, “Buat apa ada negara, buat apa ada asosiasi? Permasalahan ini harus dilakukan bersama-sama!”

woman sexy tongue. Comic cartoon pop art retro vector illustration drawing

Kesaktian Pancasila Melalui Lidah

Pengetahuan masakan Indonesia harus didokumentasikan. Dokumentasi tidak hanya berupa tulisan, maupun konten foto dan video di Youtube, Instagram, dan social media lain. Tapi dokumentasi juga serupa dengan melestarikan ragam potensi alam di tanah Indonesia. Cara paling dasar melestarikan itu, ialah membuang pikiran bahwa makanan sekadar makanan.

Kita akan menyaksikan kesaktian Pancasila melalui lidah orang-orang Indonesia. Yang menerima keragaman makanan “Ibu” dan budaya masing-masing. Apabila kembali ke dapur atau memasak, menjadi cara yang dipilih untuk pelestarian, mungkin tidak berlaku buat orang-orang yang masih berat melakukan itu? Namun, lidah punya kemampuan istimewa, untuk memahami aku, kamu, dia, mereka, dan kita semua.

Semua orang bisa menikmati berbagai rasa-rasa makanan, tapi lidah tidak hanya berfungsi sebagai perasa. Lidah mempunyai sel-sel yang terhubung dengan otak dan perilaku. Bahkan terpaut pada hubungan antarmanusia, hubungan dengan Tuhan, dunia atas. Yang tanpa disadari terkait dengan sosial, ekonomi, politik, budaya, agama, sastra, kesenian, dan sebagainya.

Riwayat perjalanan hidup manusia diisi rasa manis, pahit, asam, hambar, pedas, dan mungkin ada rasa yang tidak dikenali. Perubahan pola pikir, cara hidup, dan teknologi mutakhir, ditambah perubahan iklim (khususnya terkait pertahanan pertanian), tidak bisa dihindari. Sebab perubahan zaman mengikutsertakan rasa-rasa tersebut.

Kesaktian Pancasila terdapat dalam lidah-lidah yang hidup bersama 5 bahan dasar:

1. Ketuhanan yang Maha Esa,

2. Kemanusiaan yang adil dan beradab,

3. Persatuan Indonesia,

4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaa dalam permusyawaratan dan perwakilan,

5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Pelestarian warisan kekayaan Nusantara bisa terjadi, apabila memahami dan menjalankan butir-butir Pancasila. Artefak, adat, naskah, perlu dilestarikan, begitu juga dengan pelestarian potensi alam.

Dan, kau tidak perlu khawatir bertahan hidup, meski zaman terus berkembang maju. Pancasila itu sakti, Bung!

Program Lan Ngorta

Saya mendapatkan info acara ini dari Rai Astrawan, penggagas Lan Ngorta, yang berkeinginan mengajak anak muda mulai melakukan pengarsipan. Hasrat Rai tersebut, tidak jauh berbeda dengan tujuan program Lan Ngorta, yaitu berupaya mengenal lebih dalam dan mendokumentasikan perjalanan para pencerita di Indonesia. “Pancasila” adalah tema yang diangkat Lan Ngorta kali ini bersama perjalanan lidah seorang Rahung Nasution.

Hasil kolaborasi Ni Timpal Kopi dan Taman Baca Kesiman pada program Lan Ngorta, telah mendatangkan pencerita-pencerita seperti, Ngurah Suryawan, Don Dulang, Jengki Sunarta, Mangku Muriati, Cok Sawitri, Made Taro, Rahung Nasution, dan lain-lain.