“Bumi adalah Ibu kita”. Kalimat ini terus terngiang, yang kemudian menyimpulkan bahwa Ibu yang mengandung saya tidak jauh berbeda dengan Bumi. Lalu, teringat ungkapan, “Jika kau menyayangi Ibumu, maka Tuhan akan melancarkan urusanmu.” Sama, ‘kan, artinya apabila kita menjaga bumi, bumi akan memberikan makanan untuk anak-cucumu, bahkan kekayaan berlimpah untuk masa depan yang panjang, untuk kebahagiaan kehidupan.
Perjalanan ke pedalaman Kalimantan 3 tahun lalu, kembali terlintas saat hadir di Festival Panen Raya Nusantara (PARARA), 7 Desember 2019, Atrium Plaza Semanggi, Jakarta. Di acara tersebut saya berjumpa dengan beberapa etnis Dayak Kalimantan Barat dan Kalimantan Utara. Waktu melihat kumpulan buah yang belum pernah saya lihat sebelumnya, saya bertanya, “Ini apa dan untuk apa?”
“Ini body cream dari buah Tengkawang.” jawabnya, lantas saya melihat bentuk seperti sabun di kotak plastik. Dia langsung bilang, “Ini minyak mentega, biasa buat kita masak, juga dari buah tengkawang.”
“jadi, tengkawang ini menghasilkan lemak berupa cairan minyak nabati. Kita tahu tengkawang bisa dijadikan body cream, setelah mendapatkan pembinaan dari Samdhana Insitutue.”
Secara bergantian, kedua Ibu etnis Dayak Bekati’ yang jumpa di booth mitra Samdhana, bercerita bahwa tengkawang punya produk turunan yang banyak. Kayu tengkawang (disebut juga kayu meranti merah, dan buahnya dalam bahasa asing: Borneo tallow nut). Kayu tengkawang bisa digunakan sebagai bahan baku membangun jembatan, rumah, puskemas dan bangunan lain. Sedangkan buahnya bermanfaat untuk bahan baku pembuatan coklat (bahkan berkualitas lebih baik dari kakao), masker wajah atau kosmetik lain, sabun, obat, kesehatan (salah satunya: melancarkan peredaran darah), kue, snack, body cream, lilin, dan banyak lagi.
Rata-rata tanaman tengkawang berada di hutan adat Pikul atau keluarga, sama halnya dengan ladang padi adat yang dimiliki oleh masyarakat etnis Dayak. Dulu, nenek moyang mereka tidak menggunakan sawit sebagai minyak, tapi memilih tengkawang untuk memasak, ritual tradisional, dan perawatan tubuh. Perluasan lahan dan gencarnya menanam dan produksi sawit, membuat tengkawang tersingkirkan, hingga dianggap tidak memiliki nilai ekonomis. Meski tidak mempunyai nilai jual, masyarakat di Desa Sahan, Bengkayang tetap menjalankan tradisi menjaga hutan dan memanfaatkan minyak tengkawang untuk keluarga mereka sendiri.
Setelah penelitian yang dilakukan Institut Riset Teknologi Hasil Hutan (INTAN), pemerintah daerah dan masyarakat kembali memanfaatkan tengkawang. Kini, dari 1500 pohon yang ada, telah menghasilkan 35 ton setiap tahun – setiap pohon bisa mencapai 1500 kilogram buah tengkawang.
Pembuatan mentega tengkawang, dari sejak dulu sampai sekarang tetap sama. Buah-buah dikeringkan dan disalai (diasap). Kemudian digiling, dan cairannya dijadikan minyak. Sekitar tahun 2016, masyarakat mendapatkan bantuan mesin press untuk membuat mentega.
Saya tertegun mendengarkan produk turunan yang dihasilkan dari pohon tengkawang. “Kalian kaya, ya,” ucapan saya ini langsung membuat mereka tertawa. Selama menuju pedalaman Kalimantan Timur, saya menyaksikan bermacam-macam tanaman di sepanjang jalan. Dan kekayaan alam ini tidak hanya ada di Kalimantan Timur, melainkan di seluruh jantung Borneo. Setiap orang punya ladang dan lahan hutan sendiri, juga ladang serta hutan adat, belum lagi ditambah tanaman di pekarang rumah mereka, plus hewan yang mereka pelihara. Goa-goa yang banyak saya temukan pun, tidak bernama, boleh dimliki siapa saja, pula hasil sarang waletnya. “Siapa cepat, dia dapat” begitu istilah salah satu warga lokal saat itu.
Bagi masyarakat Long Pahangai dan Tiong Ohang, Kalimantan Timur, padi adalah kehidupan. Sedangkan bagi penduduk Bengkayang, Kalimantan Barat, tengkawang adalah pohon kehidupan. Masing-masing punya ‘Ibunya” sendiri yang mereka sayang dan lestarikan.
Gaya hidup pun tidak berbeda, Long Pahangai, maupun Tiong Ohang, saya sempat kesulitan membuat janji wawancara di pagi dan siang hari. Sebab, pada waktu tersebut, semua orang keluar rumah, dan semuanya sibuk. Ada yang pergi ke sawah, ada yang pergi ke ladang kakao, ada yang membuat furniture, ada yang membuat tas kerajinan, ada yang mengajar, ada yang menangkap ikan, ada yang menambang, ada yang mengukir kayu motif, ada yang keliling kampung menjual sayuran dari halaman rumah, dan ada juga yang membuat tuak … hahaha. Pokoknya semua orang sibuk dan rumah-rumah sepi. Ketika jelang sore, barulah mereka muncul satu per satu.
Kesibukan ini bukan kesibukan seperti orang-orang di kota besar. Mereka lebih memilih sibuk dengan ‘warisan’, yakni tradisi, kekayaan alam dan pengetahuan dari leluhur. Mereka tahu bahwa ‘warisan’ tersebut dapat menghidupkan mereka. Malah saya sempat berpikir, mereka tak perlu negara, cukup menjaga dan melestarikan warisan lokal mereka.
Namun, pemikiran itu terkikis melihat hasil alam mereka, sebenarnya berpotensi besar menjadi unggul dan bernilai jual bagus, tapi mereka tidak tahu cara meningkatkan kualitas produk. Itulah mengapa LSM-LSM hadir di berbagai daerah yang sulit terjangkau ataupun daerah berpotensi yang butuh pembinaan. Pemerintah daerah pun tidak tinggal diam. Yang awalnya buah tengkawang, hanya dipakai sendiri atau kalangan kerabat, keberadaan pemerintah daerah, membantu penjualan mentega tengkawang sampai ke luar negeri
Ibu Neni Rohaini, Samdhana Institute, mengutarakan tentang “kesibukan” warga Bengkayang yang membuat mereka tidak optimal memanfaatkan potensi buah tengkawang. Sehingga Samdhana Institue mengadakan pembinaan dan pelatihan di Dusun Melayangm Bengkayang.
Festival Parara 2019: “Jaga Tradisi, Rawat Bumi”
Samdhana Institute, bukan satu-satunya yang turut menggerakan kampanye #PanganBijak: Lokal, Sehat, Adil, dan Lestari. Sekitar 100 komunitas lokal dan 30 LSM bergabung dalam Festival Parara 2019 bertema Jaga Tradisi, Rawat Bumi.
Terbukti, seperti masyarakat etnis Dayak, etnis Sunda di Ciptagelar, Baduy, dan Mentawai, turun-menurun menjaga tradisi dan potensi alam. Alhasil, mereka tidak kehabisan beras ataupun bahan pangan lain. Hutan atau ladang adat telah menghidupkan mereka, tanpa perlu membeli kebutuhan pokok dari daerah lain, apalagi negara lain. Pun, mereka mempunyai pengetahuan mengenai keseimbangan alam dan selalu menjaga ‘bumi’ mereka dari tangan-tangan tak bertanggungjawab.
Terlihat dari seluruh booth, menampilkan produk asal daerah sendiri. Produk lokal yang beraneka jenis dan belum banyak dikenal masyarakat umum, baik rupa dan kegunaannya.
Sagu. Penduduk Mentawai mempertahankan ladang sagu dari pemerintah yang menyuruh mengubah ladang menjadi beras. Padahal, padi tidak tumbuh secara baik di sana. Terlebih, sejak nenek moyang, kebiasaan mereka mengonsumi sagu bukan beras. Sebab, sagu adalah Ibu masyarakat Mentawai.
Booth Sulawesi Tenggara menyuguhkan Saguku yang terdiri dari biskuit (sagu coklat) dan snack (berbahan sagu dan daun kelor) yang gurih dan bercita rasa. Nenek moyang mereka juga mengonsumsi sagu. Ternyata, sagu bisa meningkat kesejahteraan mereka. Ohya, mereka juga punya, loh, garam udang.
Kalimantan Utara mengangkat potensi unggulannya, yaitu beras Adan Krayan, jawawut, sorgum, dan garam yang berasal dari pegunungan. Garam gunung? Dataran Krayan mempunyai 32 mata air garam yang berada di dataran tinggi atau pegunungan. Tidak semua bisa diproduksi untuk garam gunung buat konsumsi manusia. Namun, ada juga yang bisa dikonsumsi hewan liar. Masyarakat Apo Kayan punya kecerdasan mengetahui garam untuk manusia dan hewan, entah bagaimana cara melihatnya. Ketika panen padi, warga setempat berhenti mencari maupun memproduksi garam.
Jika ditulis satu per satu, mungkin tulisan ini tidak kelar-kelar. Beragam tanaman hayati, memberikan pengetahuan baru dan kesadaran bahwa Indonesia kaya. “Ibu saya dan kamu kaya raya, kita adalah segalanya.”
Namun, berbagai hal yang terjadi, membuat kekayaan itu hanya numpang lewat di mata saya. “Lokal, Sehat, Adil, dan Lestari” berteriak pada kesadaran saya untuk kembali ke ‘akar’, kembali kepada Ibu. Diprediksi jumlah penduduk pada tahun 2050 akan mencapai 9 miliar, berarti akan terjadi peningkatan pangan berlipat-lipat. Sementara sekarang, lahan sawah kian berkurang, bukannya bertambah, kebakaran hutan terjadi lagi dan lagi, dan semakin banyak anak yang mengalami stunting.
Festival Parara mengajak masyarakat luas #PanganPijak untuk mengatasi hal-hal seperti paragraf di atas. Dengan mengubah pola konsumsi.
Lokal, berarti mulai mengonsumi makanan dari benih-benih lokal, bukan impor, dan diproduksi di daerah asal. Jika perlu membantu produksinya.
Sehat, mulai mengunakan bahan makan organik, alami, tidak mengandung pengawet maupun penyedap rasa buatan, bersih, dan bergizi. Selain garam dan lada, kita bisa mengganti msg dengan kaldu ayam dan santan kelapa. Terasi juga termasuk penyedap rasa alami, loh. Untuk pengawet makanan alami, bisa memakai kluwak, cuka apel, daun gambir, kulit manggis, garam, gula, semuanya mudah ditemukan!
Adil, selain mudah diakses konsumen, orang-orang yang menanam dan mengolahnya juga harus mendapatkan kesejahteraan. Termasuk adil buat lingkungan dan harga jual yang adil untuk produsen dan konsumen.
Lestari, memelihara variestas yang cocok dengan daerah setempat, ramah lingkungan, dan berkelanjutan.
Jika ingin lebih jauh memahami Pangan Bijak, telusur web: http://panganbijak.org/
Foto Cover: Beras Adan Krayan, Apo Kayan, Kalimantan Utara