Mereka datang dari Apau Lagaan. Menjelma burung–burung enggang berparas buruk dan seram, berparuh panjang dan pendek, juga berhidung besar. Mengenakan kostum kebangsaan berlapis dedaunan hijau kelapa, pisang, dan pinang, dan turun melalui mantra yang beterbangan. Yang dirayu hamburan beras dalam mangkuk porselen … telur kampung bersuhu sejuk … gairah kibasan kain putih … parang …, dan sekala.
Mereka menari, merentakkan kaki, berputar mengelilingi suatu bidang, dari pagi sampai pagi. Tuvung, rentak kaki, dan teriakkan dari para keturunan, “Hoh … heh … hoh … hua …,” terdengar di benuaq terus-menerus. Tak ketinggalan gema tawaq yang menyambut para tamu agar bisa dekat dengan roh-roh leluhur, atau Jaliwan Tohdoq.
Di atas adalah sekilas gambaran ritual Hudoq yang merupakan tradisi Suku Dayak di Kalimantan Timur. Ritual Hudoq dilakukan secara bergilir di setiap kampung dan memiliki tiga prosesi; pertama Hudoq kawit, sebelum tanam padi bersama, kedua, syukuran atas hasil panen pertama atau Laliq ataaq, dan ketiga, Nevukoq, tanda bahwa adat Lumaaq (ritual buka lahan, me-nugal, dan panen) telah selesai. Hudoq juga diramaikan dengan kegiatan bermain gasing dan tarik tambang.
Ketika menyaksikan ritual Hudoq, siapa yang tidak tertarik mendekatinya? Pakaian, teriakkan, gaya tari, dan suara musik menjadi hal yang menarik bagi wisatawan. Apalagi, ritual tersebut tidak saja berupa tarian dan musik, tapi juga ada ritual tetua menceritakan sisilah, lalu dilanjutkan memberikan makanan yang dilakukan oleh seorang Hipui (bangsawan) kepada Hudoq yang terdiri 9 sampai 11 orang keturunan – hanya keturunan terpilih yang bisa menjadi Hudoq.
Makanannya pun hanya khusus disuguhkan saat prosesi Hudoq, selain dari hari itu, siapa pun yang menyajikan akan mendapatkan kepuhunan. Yaitu Dinu lohoq berupa tepung beras ketan yang dicampur gula dan kelapa dalam bambu, dibawa ke lamin adat dan dipersembahkan bersama doa suci sebelum Jaliwan Tohdoq membuka dialog. Atau disebut Tengaran hudoq, untuk memberikan kabar baik dan pesan-pesan.
“Perbaikilah kampung,” begitu terjemahan dari penuturan Jaliwan Tohdoq secara spontan dan tak berulang pada bulan Oktober 2017.
Kalimat singkat dalam dialog tidak sama dengan dialog hudoq sebelum ataupun pada tahun berikutnya, yang selalu dilisankan dalam bahasa Bahau. Dialog yang keluar mengalir apa adanya, tidak disusun maupun direncanakan. Setiap tahunnya, Jaliwan Tohdoq memberikan pesan yang berbeda, seolah mereka tahu kondisi yang sedang terjadi pada anak-cucunya.
Raja Apau Lagaan (negeri khayangan) mengirim Jaliwan Tohdoq yang kemampuannya setingkat dewa-dewi. Bertugas membimbing, mengawasi, melindungi cucu-cucunya di bumi. Turun ke benuaq (bumi) untuk membawa kabar atau pesan baik yang memberikan daya hidup atas benih-benih yang telah ditaburkan pada tanaman padi, termasuk buah-buahan dan tanaman obat. Agar tanah menjadi subur dan terhindar dari gagal tanam ataupun hama.
Lantas diadakan sambutan ritual dan sakral, mantra-mantra suci, memohon kepada leluhur supaya terus membimbing, melindungi, mengawasi dan membuka pintu rezeki; kesejahteraan dan kedamaian. Rombongan Hudoq yang datang dari khayangan atau alam nirwana disambut oleh masyarakat. Proses menyambut rombongan disebut Napoq.
Dimulai dengan pemanggilan roh yang baik, menghambur sedikit beras yang ditaruh dalam porselen. Beras hasil bumi sebagai sarana antara umat dan Penciptanya. Sedangkan telur ayam adalah sebagai awal kehidupan dengan suhu sejuk melambangkan ketenangan dan kedamaian kehidupan manusia.
Parang dan sekala (tombak) merupakan lambang penguatan dan pengukuhan bagi jiwa manusia terhadap lawan yang melemahkan jiwa. Dan, kain putih adalah simbol untuk membersihkan jiwa dan memberikan ketulusan kesucian hati bagi warga maupun tamu yang hadir. Napping, aktivitas mengibas kain putih dan parang untuk membuang jauh noda-noda kotor, buruk, dan jahat, serta hal-hal yang mengancam persaudaraan dan cinta kasih. Ritual napoq diharapkan masyarakat dapat bersukacita, rela dan melimpah apa saja yang dimohonkan untuk kebahagiaan. Dan, untuk bersyukur dalam hal apa saja.
Hudoq dan tariannya, itulah hal pertama kali yang saya saksikan di Long Pahangai, salah satu pedalaman di Kalimantan Timur (Borneo). Ternyata, acara itu dilakukan dari pagi sampai ayam berkokok kembali keesokkan harinya. Pada hari kedua berada di sana, saya langsung menemui Ketua Adat Suku Dayak Bahau Long Pahangai untuk wawancara perihal ritual Hudoq. Mendengar tutur kata dari Hendrikus Ding Ngau, si ketua adat, tidak mudah bagi saya. Aksen bahasa Bahau yang kental, tidak biasa di telinga saya, belum lagi pengejaannya. Saya harus berkali-kali melakukan ‘klarifikasi’ agar tidak salah menyampaikan arti, tata, dan rangkaian sekaligus filosofi Hudoq.
Beruntung, saya ditemani Demonikus, penduduk asli yang menjadi translator saya dan teman-teman. Dari wawancara, saya jadi tahu bahwa suku Dayak mengikuti klapsoq, kalender suku Dayak Bahau Umaq Suling yang digunakan untuk memulai tanam padi.
Pedalaman yang Kaya Raya
Bagi suku Dayak, padi adalah raja kehidupan. Menghidupkan para leluhur dan nenek moyang sebelum mereka bermigrasi dari Cina Selatan ke tanah Kalimantan sekitar 3000-1500 SM. Sejak dulu sampai saat ini, setiap warga suku Dayak di pedalaman pasti memiliki ladang padi. Hasil panen padi lebih banyak digunakan sendiri, jika dijual pun hanya ke Samarinda atau Balikpapan.
Selain ladang padi milik sendiri, mereka juga punya ladang adat – yang proses awal, dari membuka ladang sampai ritual panen dilakukan warga setempat bersama-sama untuk menjalankan dan melestarikan tradisi Hudoq, dan terletak di dalam kampung. Dari tiga kampung yang saya kunjungi; Long Pahangai, Tiong Ohang, dan Noha Boan, kebanyakan warga asli memiliki ladang di luar kampung, untuk sampai ke sana harus menggunakan ces atau ketiting (perahu kayu bertenaga diesel).
Ketika mengunjungi kebun kakao Kakek Lasah yang berada di tepi sungai dan hutan, ia bilang, “Kalau mau ke sawah saya, kita tetap pakai ces karena harus menyelusuri sungai sekitar lima kilo dari sini.” Untuk sampai ke kebun kakao-nya dari Long Pahangai butuh waktu lima belas menit lebih, jadi kira-kira saja berapa lama sampai ke ladangnya dari kampungnya.
Di kebun Kakek Lasah, saya melihat sedikit tanaman padi, singkong, kopi, pohon rambutan yang mati, beberapa ekor ayam, sayur-sayuran, dan biji-biji kakao yang sedang dikeringkan. Selain itu, Kakek Lasah mempunyai kebun karet dan gaharu. Sayur-sayuran, buah-buahan, dan ternak ayam dan babi, hampir ada di setiap rumah di kampung yang saya kunjungi. Setiap keluarga tidak hanya mempunyai ladang padi, mereka juga memiliki kebun karet, gaharu, kakao, dan tanaman lainnya, belum lagi ditambah sarang walet. Malah, ada yang memiliki kerja sampingan sebagai penambang emas dan pengrajin kayu.
Jika ingin makan ikan atau daging, mereka cukup memancing di atas ketiting-nya atau berburu payau atau babi di hutan. Menariknya, kegiatan ekonomi mereka berputar di sekitar mereka saja. Misalnya saja kayu miranti, arau, dan ulin yang digunakan sebagai bahan furniture rumah, rumah adat, dan jalan, mereka pakai sendiri, di jual pun paling jauh ke kampung tetangga. Bila ada warga yang sedang membangun rumah, warga lain bersama-sama membantu membuat sekaligus mendirikannya. Selain itu, mereka memetik tanaman khusus di hutan atau di kebun untuk mengobati penyakit. Zaman dulu, penyembuhan juga dilakukan dengan mendengarkan melodi yang keluar dari alat musik tradisional, sapeq.
Menurut saya, mereka itu kaya bahkan tanpa negara pun, mereka bisa hidup sejahtera. Meski mempunyai lebih dari satu lahan tumbuhan dan jenis pekerjaan, mereka tetap memilih padi sebagai sumber kehidupannya. Sejak kecil masyarakat Suku Dayak – turun-menurun, telah diajarkan menanam padi dan mencintai alamnya. Bagi yang tidak sayang pada alamnya, berarti merusak kehidupannya sendiri. Pada bagian ini, saya terpaku mendengarkan ketua adat, yang lebih senang dipanggil, Ding Ngau saja.
Berada di sana, saya seperti dikembalikan oleh Penguasa ke alam yang sebenarnya, yang ‘menyegarkan’ pikiran, hati, dan tubuh. Alam dan segala isinya di bumi Borneo, rasanya tidak cukup dituangkan ke dalam satu tulisan saja. Banyak hal yang saya temukan di pedalaman, seperti orang-orangnya yang ramah, suka bercerita, Hudoq, penambang emas, sarang walet, tanaman herbal, anak-anak sekolah, manik dan rotan, kuliner adat dan sehari-hari, Bangkeng, seekor anjing yang selalu mengikuti ke mana saya pergi bahkan ikut naik ces ke kebun Kakek Lasah, pengrajin kayu, buraq dan arak, ladang adat, petani kakao, sejarah dan adat-istiadat, babi hutan, permainan dari master sapeq, kepala sekolah, pakis beracun, ular, kepuhunan, suara-suara alam bagaikan orchestra yang setiap malam saya dengar, dan lainnya yang tidak akan cukup dimuat dalam satu tulisan ini.
Hal lainnya yang membuat kekaguman saya berakumulasi adalah pemandangan alam dan perjalanan menuju pedalaman di Mahakam Ulu.
Menuju Pedalaman Kalimantan Timur
Borneo memang kaya seperti halnya daerah-daerah di Nusantara. Dari Balikpapan menuju Dermaga Tering dibutuhkan waktu sekitar 19-21 jam. Dengan menggunakan mobil, selama perjalanan, setiap kilometernya saya melihat jenis-jenis tumbuhan yang berbeda. Namun, seperempat bagiannya dikuasai perkebunan kelapa sawit yang sering dipertentangkan sekaligus diperebutkan oleh orang Kalimantan, juga orang asing. Satu lagi yang kerap saya lihat ialah sarang walet. Saya juga sempat menyaksikan burung enggang terbang melayang di udara, lalu ia seolah-olah menghampiri kami dari depan mobil dan meninggi kembali. Pengalaman ini saya anggap ‘keajaiban’ sebab, kini, burung enggang menjadi hewan langka atau hampir punah.
Sampai di sekitar wilayah dermaga, kami tidak langsung menuju pedalaman, tapi harus beristirahat karena perjalanan yang cukup melelahkan. Esok paginya, saya dibangunkan oleh suara burung dengan siulan yang sulit diungkapkan kata-kata. Sampai di dermaga, kami langsung sarapan dengan menu makan siang yang porsinya besar. Perjalanan saya anggap dimulai dari titik ini dan di hadapan kami terbentang Sungai Mahakam Ulu yang panjangnya 920 kilometer.
Pepohonan, air sungai, dan deru angin mengiring perjalanan awal. Kami menggunakan speed boat berkapasitas maksimal 10 orang, tapi bisa mengangkut perangkat berat untuk membuat jalan. Kebetulan, saat itu proyek infrastruktur sedang dilakukan oleh pemerintah daerah setempat, tentu tidak terlihat ketika berada di dalam speed boat – yang setiap penumpangnya dikenakan biaya 1,6 juta rupiah.
Saat perjalanan, kami singgah di beberapa rumah makan yang terapung. Bila singgah di warung makan, berarti orang harus makan atau paling tidak minum di warung tersebut. Suatu waktu, saya dan teman-teman kekenyangan, dan tidak ingin makan lagi. Salah satu orang yang sepertinya penumpang dari kapal lain, bercakap, ”Hei, di sini riam, orang yang ditawarin makan harus makan, kalau tidak, bisa sial.” Mau tak mau, kami makan lagi.
Namun, kami serasa lupa telah makan banyak dan minum kopi lebih dari lima cangkir. Sebab, pemandangan kanan dan kiri sepanjang Sungai Mahakam sangat memukau. Berbagai bentuk pohon terpampang indah, apalagi kami juga melihat pepohonan berbentuk manusia. Bentuknya persis yang kita pernah lihat di film fantasi.
Satu lagi yang membuat tertegun, yaitu melihat perbukitan berbatu atau karst yang menakjubkan. Gunung atau bukit berdinding karang itu, hampir serupa Danau Napabale di Sulawesi Tengah, selintas mirip Lembah Harau di Sumatera Barat, atau Rajaampat, hanya gunung tebing atau dinding tebing di sini lebih rendah ketinggiannya. Kemudian, di salah satu gunung karang terdapat air terjun Jantur Kenheq, yang jika diamati akan terlihat makam-makam di balik dinding. Dari kejauhan, makam-makam tersebut berbentuk segi empat yang berupa batu. Salah satu makamnya ialah makam Raja Dayak Panihing.
Borneo memiliki pesona yang membuat manusia jatuh cinta berkali-kali. Keindahan itu bisa dinikmati ketika melewati Riam Haloq, Udang, dan Panjang. Lain lagi keindahan alam bila terus ke arah kampung Tiong Ohang. Di sana berdiri gunung tebing berwarna putih, Diang Karing yang cantik dan membuat hati sejuk. Gunung tebing (karst) lainnya, Diang Musing yang pasti terlihat dan terletak di kampung Tiong Bu’u (seberang kampung Tiong Ohang). Saya bertambah girang karena diajak seorang petani kakao ke goa yang berada di dekat Sungai Topuse dan lokasinya berdekatan dengan kebunnya yang dipenuhi bebatuan kapur.
Ternyata di pedalaman Kalimantan Timur banyak memiliki goa-goa yang bernama maupun yang tidak. Saya tahu itu dari warga Kutai Barat yang menemukan goa penuh sarang walet—goa itu kini menjadi miliknya. Bukan hanya goa, tapi juga lahan atau kebun bisa dimiliki orang-orang asli pedalaman Kalimantan tanpa harus membeli. Malah orang luar pun atau warga yang membutuhkan lahan bisa meminjam lahan dari pemiliknya. Barangkali, jika saya meminta satu hektar lahan, mereka akan memberikannya. Tapi siapa yang akan mengurusnya? Sedangkan antara Jakarta dan pedalaman Kalimantan tergelar jarak yang panjang.
Menempuh Long Pahangai, apalagi Tiong Ohang butuh nyali yang besar. Pada waktu musim kemarau, Sungai Mahakam Ulu akan surut, berarti akan banyak batu-batu besar maupun kecil yang muncul ke permukaan. Riam Haloq, Udang, dan Panjang tidak bisa dilalui ces atau ketinting, harus menggunakan speed boat. Batu-batu yang muncul membuat pengemudi harus cekatan, berkali-kali speed boat menikung cepat agar tidak pecah atau terjadi kecelakaan lainnya.
Sama halnya pada saat pasang. Sungai akan bergelombang tinggi, selain adrenalin, kita juga harus rela air sungai menampar wajah dan paling nggak enak: membasahi sekujur tubuh kita. Dermaga Tering menuju Long Pahangai membutuhkan waktu sekitar 7 jam, Long Pahangai ke Tiong Ohang sekitar 1.5 jam. Di Riam Udang, kami melewati 11 riam dan riam yang paling deras adalah Riam Panjang yang berukuran 3 kilometer. Tapi, bagi saya pribadi, riam yang paling dahsyat itu ketika menuju Tiong Ohang. Sebenarnya, riam yang penuh beresiko itu saat menuju Long Apari, kampung paling ujung Kalimantan Timur.
Jarak, waktu, dan riam-riam yang bikin jantung naik-turun, terbayar lunas ketika kita sampai dan di hadapan, Tuhan telah menggelar keindahan lukisan alam. Yang meransang semua indera untuk berkomunikasi dengan alam semesta serta manusia-manusianya. Menjelajahi ketiga kampung pedalaman Kalimantan Timur tersebut merupakan pengalaman akhir tahun 2017 yang sangat berarti buat saya.
Tulisan ini berasal dari bagian kecil Buku Kakao dan Makanan Para Dewa di Pedalaman Borneo, 2018, Penerbit Penabulu, Jakarta.
Bagi yang menyebarkan tulisan ini dan di-publish di website/blog pribadi (selain saya) atau media online/cetak diharapkan meminta ijin terlebih dahulu dari penulisnya. Tidak ada kompromi bagi yang meng-copy paste tulisan ini!