Bayi mungil itu tumbuh besar dan unik. Usianya kini 20 tahun. Bayi kecil perempuan yang paling dicintai oleh Bunda. Anak perempuan – satu-satunya buah hati yang dimiliki Nyonya Salendah – sang bunda. Tak heran Nyonya berparas cantik itu, rela melakukan apapun demi kebaikan anak gadisnya. Kebanyakan orang bilang, “buah jatuh tak jauh dari pohonnya,” namun ada perbedaan terbentang lebar antara Bunda dan anak gadisnya itu.
Masyarakat di kota kecil, Seiden, daerah pesisir pantai paling indah dan terkenal di Indonesa, sangat menyukai sosok Nyonya Salendah. Nyonya itu selalu berbahasa santun, lembut dan kerap menolong sesamanya. Nyonya itu mempunyai prinsip tuk selalu mengasihi dan mencintai sesamanya. Karena sikap dan keperibadian Nyonya itu, masyarakat memanggilnya, Bunda.
Bunda yang dicintai dan anak gadisnya yang ditakuti hampir seluruh masyarakat Seiden. “Bukan manusia,” orang-orang selalu menyebut gadis itu. “Aku rasa dia dilahirkan bukan dari rahim Bunda, melainkan dipunggut oleh Bunda dari hutan angker dekat pegunungan itu,” sebagian masyarakat beranggapan seperti ini. Dan anak gadis itu diberi nama “Cantik” oleh Nyonya Salendah.
***
Malam semestinya sunyi, tenang, nyaman dan indah seraya menikmati bulan beserta bintang-bintang kemilau hadirkan kecantikan mereka. Desir ombak tak bergejolak. Angin laut sayup-sayup menerpa tubuh. Beberapa pasangan kekasih saling bergandeng tangan, saling berpeluk erat, saling berkecup dan saling berbisik mesra. Para perempuan separuh baya bersenandung melodi kedamaian, ditemani irama gamelan mengalir pelan dimainkan anak-anak mereka. Bernyanyi sambil menari bahagia di bawah rembulan penuh bulat sempurna.
Rumah berdinding kayu, luas 300 meter, penuh tanaman bunga Anggrek Bulan, tak berpagar dan kolam ikan bersama air pancur kecil. Semua furniture di rumah milik Bunda berasal dari kayu jati Jepara. Lukisan sepanjang 1 meter, tinggi 1,5 meter, bergambar seorang ibu dan anak perempuannya, berbalut kain batik, terpampang di ruang tamu. Bunda berada di kamarnya, menyisir rambut panjang hitam pekatnya. Sayup-sayup suara gamelan dan suara para perempuan paruh baya, menyusup, menari masuk pelan ke kamar Bunda. Ia terpukau, lalu mendengungkan suaranya ikuti nada lagu kedamaian mengudara.
Sudah setengah jam cantik berdiri di depan cermin. “Cermin iblis” begitu Cantik menyebutnya. “Mengapa cermin di kamarku selalu berbentuk iblis, walau telah kuganti dengan cermin Bunda, tetap saja cermin itu berwajah iblis. Seminggu lalu aku membeli cermin baru, kata Bunda cermin ini telah diperiksa bentuknya, menurut Bunda, cermin baru ini berbentuk malaikat,” ucap Cantik datar memandangi cermin di hadapannya.
“Tapi…Setelah kuamati, ini bukan cermin malaikat, melainkan cermin iblis. Arggh, Bunda bohong!…Eee, tapi mana mungkin Bunda membohongiku. Aku dengar jelas, penjual itu menjamin, bahwa cerminnya adalah cermin malaikat. Ada bukti surat absahnya berikut jaminan selama 3 bulan, jika cermin ini retak atau berubah bentuk, penjual itu siap mengganti dengan cermin baru,” Cantik memiringkan kepalanya ke kanan, lalu ke kiri.
“Baru seminggu dan cermin ini sudah retak di bagian tengahnya, meski retaknya masih kecil.”
Cantik terdiam. Pandangannya tetap lurus menghadap cermin. Getar deru ombak membuat dirinya terbawa alunan emosi. Hembusan angin laut mendebarkan jantung Cantik. Aliran darahnya perlahan berlari cepat. Relung suara para perempuan paruh baya dan melodi gamelan, mendinginkan hatinya, beku, namun lamat lirik kedamaian itu memunculkan amarah Cantik. Gelas berisi air di atas meja – di bawah cermin, dilempar kencang ke arah cermin oleh Cantik…Pecahhh…Retakkk…
“Mengapa kau tak pernah bekerjasama baik, cermin? “Apakah kau tak pandai berbohong sedikit saja?” Cantik sesungguhkan. Menangis bersama protes, tak menerima.
Tiba-tiba, cermin itu bergerak seperti gempa menggangu kamar Cantik. Berdetak seperti mengikuti degup jantung Cantik. Angin laut bagai mengitari tubuh Cantik. Seruan ombak memecah ruang kepala Cantik. Lagu nyanyian kedamaian menampar keras tubuh Cantik. Seolah-olah lirik lagu itu berkumandang, “Iblis..Iblis mengaku cantik!”. Badan Cantik jadi tak seimbang. Cantik tak kuat mendengar suara ejekan nyanyian itu. Cantik terjatuh dan berteriak kencang, “Tidakkkkkkkkk !! Baiklah akulah yang iblis. Aku adalah Iblis. Iblissssss…” Cantik lari keluar kamar, bagai kesurupan, menggaruk-garuk tubuhnya, keluar ke halaman depan rumah.
Cantik tetap berseru, “Aku buruk…Aku buruk…Aku bukan manusia…” lengkingan pita suaranya mengejutkan Bunda dan masyarakat Seiden serentak tertegun. Tak lama mereka berduyun-duyun mendatangi rumah Nyonya Salendah. Mereka berdiri mengerumuni depan rumah Bunda, tapi tak satu pun berani masuk pekarangan rumah itu. Tubuh Cantik berguling-guling di tanah, seraya menggaruk-garuk kepala, ketiak, perut, daerah sekitar alat kelamin, bokong, kedua kaki, kedua tangan. Tak henti-henti menggaruk, kemudian Cantik meloncat bagai monyet, menghampiri masyarakat yang sedang menontonnya.
“Aha, kalian datang. Suasana jadi ramai. Aku benci sepi. Aku benci kalian tak berani menatapku. LIhatlah sekarang, kalian menatapku. Ya, kalian memandangiku. “ Cantik tertawa riang, tapi isakannya mengikutinya.
“Wahh, banyak pria, boleh kucium pria paling tampan di kota ini?” Cantik melenggak-lenggok, matanya berkeliaran mencari pria berwajah tampan.
Satu per satu para pria kota Seiden menjauh, bahkan ada yang berlari ketakutan. Gerombolan masyarakat berpencar, bergegas menyelamatkan diri, takut berada dekat Cantik.. Ya, malam mestinya sunyi hening, namun malam ini, malam yang entah keberapa kalinya menjadi malam riuh amukan Cantik.
***
Bunda membelai rambut lebat Cantik. “Nina bobo, oh nina bobo, kalau tidak bobo, digigit nyamuk…” Bunda bernyanyi kecil sambil melanjutkan usapannya ke tubuh Cantik yang dipenuhi oleh bulu-bulu lebat. Semakin bertambah usia Cantik, semakin menjalar bulu-bulu di sekujur tubuhnya, semakin pula tumbuh panjang. Panjang dan panjang. Hitam dan hitam pekat. 3 hari sekali, bulu-bulu itu digunting. Bulu-bulu itu bertekstur tebal dan kasar. Tidak sama dengan bulu di wajah Cantik, bulu-bulu itu bertekstur halus, lembut dan berwarna putih. Namun tetap memenuhi ruang wajah Cantik, sehingga Bunda harus pintar mencukurnya agar tidak menutupi mata, hidung, mulut dan telinga Cantik.
Jika baru dicukur, bulu-bulu di wajah Cantik tampak indah. Cantik bagaikan putri kayangan berwajah monyet nan cantik. Berbeda dengan bulu yang tumbuh di bagian tubuh lain, mereka sulit dicukur. Bunda sering mengunakan gunting besar dan tak cukup hanya satu, terkadang gunting itu patah ketika Bunda menggunting bulu di seputar bokong, punggung, dan kaki. Entah kenapa bulu-bulu yang tubuh di sekitar bagian tubuh tersebut, sukar dicukur. Tak seorang pun mampu mengobati kelainan yang terjadi pada Cantik ini. Dokter, dukun, ahli terapi, alternatif, semua angkat tangan. Bahkan, Bunda telah mengelilingi Indonesa – mencari orang pintar tuk menhilangkan kelainan ini.
Rasa sakit ini berjalan selama 20 tahun. Bukan waktu pendek. Setiap saat Bunda mengelola rohaninya agar tak sampai ke titik pedih nan terus menerus melepuh. Bunda merasa bersalah. Ia pernah mengejek lelaki yang sangat mencintai Bunda dengan sebutan, Monyet. Bunda tak pernah mencintai lelaki itu. Lelaki yang amat mencintai samudera dan warna laut biru. Berkali-kali Bunda menolaknya dan berkali-kali pula lelaki itu sakit hati pada ucapan dan tingkah laku Bunda terhadapnya. Karena lelaki itu sadar, bahwa dirinya tak pernah mampu mengapai tepi hati Bunda, lelaki itu pergi meninggalkan sekaligus hidup menjauh dari bau laut dan warna biru.
Sebelum pergi bersama cinta plus sakit hatinya itu, lelaki yang dulunya mencintai biru bersumpah, “Suatu hari nanti, Kau, Salendah akan mencintai lelaki yang mencintai biru dan kau mencintainya berkali-kali lipat melebihi cintaku padamu saat ini. Kau akan melahirkan bayi berbulu monyet dan lelaki yang kau cintai itu, pergi menikahi wanita lain dan tak pernah mau mengakui anaknya itu.”
Sakit hati Bunda pun masih bergelimangan tumbuh di hatinya. Bunda baru tahu apa sakit hati itu dan Ia pun sadar betul , jangan pernah menyakiti hati seseorang. Sakit hati itu dasyat. Setiap kata demi kata yang terucap maupun tak terucap, ampuh, sakti terucap jikalau seorang itu mengutuki orang yang menyakititnya. Tak usah mengutuknya, Tuhan pun akan membalaskan dendam rasa sakit itu dan alam tak pernah menolak bila diajak membantu salurkan sebuah karma.
Bunda masih mengusap Cantik dan memandangi wajahnya. Akhir-akhir ini, Bunda terngiang-ngiang kalimat Nyai Nayandri,”Salendah, kamu harus bisa melepaskannya. Rela dan ikhlas. Lepaskanlah dan bebaskan Cantik!” Kalimat Nyai Nayandri mengusik pikiran Bunda. Air mata akhirnya jatuh perlahan membasahi pipinya.
“Jangan menangis Bunda. Nanti kecantikan Bunda Pudar.” Tiba-tiba saja Cantik bersuara.
“Kamu juga jangan menangis, nanti kecantikamu luntur.”
“Buat apa cantik, jika bertubuh monyet?”
“Ssstt jangan bilang begitu, sayang. Bagaimana pun kamu tetap gadis cantik Bunda.”
“Biar, para lelaki mengejekku, aku tetap Bunda anggap cantik?” Cantik dengan suara tinggi.
Bunda menarik nafas panjang, “Sabar ya, Sayang. Tinggal menanti esok. Bulu-bulumu akan sirna. Kamu akan pakai tubuh Bunda yang masih sintal, halus dan molek ini.”
Cantik mengeryitkan dahinya. Tak mengerti ucapan Bundanya.
***
Ya, hari ini tepat 10.00 pagi, Bunda pergi untuk selamanya. Bunda menghembuskan nafas terakhirnya disaksikan Nyai Nayandri dan Cantik. Beberapa detik kemudian, bulu-bulu di kulit Cantik rontok dan sekujur tubuh Cantik menjadi bersih, putih, berkilau, halus, persis tubuh Bunda. Sedangkan tubuh Bunda yang telah berbaring kaku itu, pelan-pelan terjalar bulu-bulu monyet.
Ya, Bunda telah mati. Mati demi Cantik, anak gadisnya. Tepatnya, mati demi tubuh Cantik. Tepatnya lagi, mati bersama sumpah serapahnya, “Monyettttt.” Semakin tepatnya lagi, mati demi tumpukan-tumpukan sakit hati.