Masih asing dengan kuliner Gorontalo? Pernah dengar sup jagung bernama Binthe biluhuta? Nah, sup jagung ini adalah salah satu makanan khas yang banyak disukai wisatawan yang berkunjung ke Gorontalo. Tentu, makanan khas Gorontalo tidak hanya binthe biluhuta, tapi banyak yang bisa kita cicip. Sebelumnya, kita kenali dulu letak geografis dan sejarahnya.
Kota Gorontalo adalah ibukota Provinsi Gorontalo, yang pernah menjadi bagian dari Provinsi Sulawesi Utara. Tahun 2001, Gorontalo resmi menjadi provinsi ke-32 di Indonesia. Terletak di bagian utara Pulau Sulawesi, sebelah timur Provinsi Sulawesi Utara, dan sebelah utara, berbatasan dengan Laut Sulawesi. Dikelilingi oleh pegunungan hijau, sungai panjang maupun pendek, dan laut yang memiliki kekayaan biota, salah satunya ialah karang Salvador Dali (di dunia hanya ada di Teluk Tomini, Gorontalo).
Tahun 1942, dipelopori oleh Pahlawan Nasional, Nani Wartabone, Gorontalo lebih dahulu merdeka sebelum kemerdekaan Republik Indonesia. Dari tahun 1942 sampai 1944, Gorontalo menjalankan sistem pemerintahannya sendiri. Pada zaman kolonial, tentara Belanda menyebut kota ini, Gorontalo Penninsula (Semenanjung Gorontalo). Gorontalo juga dikenal dengan julukan Bumi Serambi Madinah, Bumi Maleo, Bumi 1001 Sultan, The Hiiden Paradise, dan Bumi Para Sastrawan (setiap prosesi adat pernikahan, pemberian gelar, kenegaraan, dan pemakaman diiringi sajak-sajak (tujai)—dulu, dalam keseharian pun, percakapan masyarakat menggunakan kalimat-kalimat bersajak maupun berpantun.
Mayoritas masyarakat Gorontalo beragama Islam. Tahun 1300-an, raja dari salah satu 17 kerajaan, Sultan Amai menyebarkan agama Islam yang dipelajarinya dari kerajaan Palasa, Teluk Tomini. Sejak itu, bentuk kerajaan yang dipimpin Raja Amai berubah menjadi kesultanan, dan masyarakat Gorontalo menyebut Sultan untuk rajanya. Dan tahun 1500-an, Gorontalo menjadi pusat penyebaran Islam di bagian Indonesia Timur. Kesultanan dan masyarakat Gorontalo selalu menentang masuknya ajaran agama yang dibawa oleh pedagang Portugis maupun VOC. Mereka telah akrab dengan sendi-sendi Al Quran dan harmoni alam yang menjadi budaya, bahkan sistem pemerintahan kerajaannya.
Seorang pakar kuliner pernah bertanya, “Mengapa di Gorontalo tidak ada makanan berbahan babi, anjing, ular, dan lainnya, tidak seperti Menado, ibukota Provinsi Sulawesi Utara?”
Jawabannya: “adat bersendikan Syara’ dan Syara’ bersendikan Kitabullah,” yang selalu dipegang kuat masyarakatnya sejak mereka mengenal Islam sampai kini.
Hasil Alam Terkait Kuliner Gorontalo
Untuk mengenal kuliner di mana pun, tidak lepas dari keberadaan geografis, sejarah, dan budayanya. Seperti kita ketahui, letak geografis mengarah pada hasil alam potensial yang secara natural terkoneksi dengan perilaku makan masyarakatnya.
Makanan Gorontalo berasal dari potensi hasil alam: hasil laut (tuna, cakalang, roa, nike, udang), perkebunan dan pertanian (kelapa, jagung, sagu, ubi, singkong, dan beras). Di tanah Gorontalo tidak berbeda dengan daerah lain yang dekat dengan laut dan tumbuh subur pepohonan kelapa, pisang, dan papaya. Ditambah tanaman pakis, kacang panjang, ketimun suri, dan labu. Sedangkan, hewan ternak sapi, kambing, dan ayam melengkapi ragam masakan khas Gorontalo.
Gorontalo juga dikenal sebagai penghasil rempah: cengkeh, pala, kayu manis, cabai, bawang merah dan putih, jahe, dan sebagainya. Kementerian Pariwisata telah menyusun wisata rempah yang akan diresmikan pada tahun 2020. Gorontalo bersama Ternate, Banten, Aceh, Maluku, Banjarmasin, dan Jakarta akan menjadi destinasi wisata rempah Nusantara.
Rempah dan hasil alam lainnya melahirkan kekayaan cita rasa kuliner Gorontalo. Peran pedagang Arab, India, Portugis, Belanda, dan Cina, termasuk Ternate dan Bugis, tidak dipungkiri mempengaruhi ragam masakan Gorontalo. Yang bila diceritakan satu per satu, asal-usul kehadiran rempah di tanah Gorontalo, tidak akan cukup dalam satu postingan blog. Apalagi kisah rempah di Nusantara, tidak cukup hanya satu buku, melainkan serial.
Kuliner Khas Gorontalo yang Menggugah Selera
Sekarang waktunya mengenali makanan khas Gorontalo yang bisa menambah nafsu makan. Banyaknya macam masakan Gorontalo, yang paling saya sukai dari kecil sampai sekarang ialah Bilenthango dan harus pedas. Sebenarnya, pedas atau tidak, tergantung dari selera lidah dan problem penyakit perut. Ya, kan? Saat ini sudah banyak masakan Gorontalo yang disajikan menyesuaikan kebiasaan masyarakat yang tidak menyukai maupun menghindari masakan pedas karena berbagai alasan.
Keunikan dari bilenthango adalah cara memasak, rasa gurih, pedasnya. Yang dilakukan sebelum memasak, Ikan dibelah dua (jangan sampai terpisah), taruh bumbu di atasnya, dan letakan di atas daun pisang, lalu goreng menggunakan sedikit minyak. Siram bumbu dengan minyak yang diambil dari bagian sisi ikannya, dan lakukan secara berulang hingga meresap. Dari tahap inilah, munculnya rasa gurih. Setelah itu sajikan ikan tanpa melepaskan alas daun pisangnya.
Biasanya, jenis ikan yang digunakan: bandeng, mujair, ekor kuning, dan bawal. Sedangkan, bawang merah, cabai rawit dan merah, tomat, daun bawang, dan garam merupakan bumbu wajib. Bumbu-bumbu jangan ditumbuk halus, sebab itulah ciri khasnya—selain cara masak dan penyuguhannya.
Di Gorontalo, rata-rata ikan berukuran besar dan gemuk. Ikan-ikan masih terjaga kesegarannya karena diperoleh dari laut yang langsung diolah menjadi suguhan lezat dan bergizi.
Kuliner kedua: Sambal Roa. Ikan roa hanya dapat ditemukan di bagian utara Pulau Sulawesi. Yang beredar di daerah lain itu, ikan roa yang dibawa dari sana. Kebiasaan orang Sulawesi dan Maluku, ikan roa diasap sampai kering, lalu ditumbuk. Perlu tenaga ekstra untuk melakukan itu. Tapi nggak perlu khawatir, banyak di pasar tradisional yang menjual roa yang telah ditumbuk. Jika mengenal kontak di sana itu lebih baik, biasa keluarga saya memesan melalui kerabat yang sedang pulang kampung.
Tidak sulit membuat sambal roa. Bahan-bahannya tidak berbeda dengan bahan sambal lain, yaitu bawang merah, cabai merah, tomat, garam, dan minyak kelapa (bisa pakai minyak biasa}. Bahan-bahan tersebut cukup ditumis, setelah tomat matang campurkan sedikit minyak. Kemudian masukan ikan roa dan aduk sampai rata. Secara pribadi, saya lebih suka bila roa dan lainnya tidak diblender halus, sebab, cita rasanya akan hilang. Sekali lagi, tingkat kepedasan disesuaiakan dengan selera.
Selain dibuat sambal, kulit roa bisa dimanfaatkan untuk membuat kuah asam/sup roa.
Kuliner ketiga: Tabu moitomo, sering juga disebut Tabi’u da’a. Atau lebih dikenal kuah Bugis. Makanan ini mirip dengan sop konro asal suku Bugis dan Makasar. Maka, tidak sedikit masyarakat yang menyebutnya kuah Bugis. Kuliner ini diperkenalkan oleh pedagang Arab. Seperti tertulis sebelumnya, tidak sedikit kuliner Nusantara berasal dari warisan pedagang-pedagang asing
Tabu moitomo membaurkan 30 rempah, sehingga menghasilkan cita rasa yang kaya dan banyak disukai masyarakat non-Gorontalo. Silakan bayangkan sendiri perpaduan rempah pala, cengkeh, jahe, lengkuas, sereh, merica, cabai, ketumbar, bunga adas, jinten, kunyit, asam jawa, daun kemangi, daun jeruk, daun pandan, daun bawang, bawang merah dan putih, dan lainnya.
Bahan utama yang digunakan ialah daging atau tulang iga. Cara masaknya:
- Rebus daging hingga empuk
- Sangrai kelapa parut sampai kecoklatan, selanjutnya tumbuk sampai minyaknya keluar
- Tumbuk seluruh rempah (bukan dedaunan) sampai halus. Kemudian campur dengan daun bawang dan daun lainnya.
- Tumis bahan-bahan dengan minyak kelapa sangrai
- Masukan seluruh bumbu tadi dan masukan ke dalam rebusan daging.
Ketika satu sendok kuah dan dagingnya masuk ke mulut, satu mangkok kuah bugis tidak pernah cukup. Lebih sedap bila disajikan dengan burasa (buras).
Kuliner keempat: Ilabulo. Dari sisi sejarah, kuliner ini mempunyai latar belakang sebagai penyatu raja-raja yang bertikai. Dan, bicara kebiasaan, tidak sedikit yang menyantap ilabulo sebagai hidangan pembuka. Banyak pula yang menikmati ilabulo bersama nasi. Padahal bahan utama ilabulo menggunakan sagu yang sama-sama mengandung karbohidrat seperti nasi. Tapi khasiat sagu lebih baik daripada nasi.
Selain sagu, ada ati ampela ayam, kedua bahan inilah yang merupakan ciri khas ilabulo. Kita bisa menemukan resepnya pada buku Mustika Rasa, kumpulan masakan Nusantara yang digagas oleh Sukarno, Presiden RI Pertama.
Bahan lain yang dibutuhkan: santan kelapa (sebaiknya menggunakan santan kelapa asli), lada, bawang merah dan putih, jahe, garam, daun salam, cabai rawit, dan daun pisang. Sebelum dicampur dengan bahan lain, iris ati ampela, rebus bersama jahe, garam, dan daun salam. Tumbuk lada, bawang, dan cabai.
Setelah itu, masukan sagu, santan, ati ampela beserta sedikit air rebusan, dan aduk sampai rata. Masak sampai kental. Berikutnya bungkus dengan daun pisang. Terakhir, kukus atau panggang.
Saat disajikan, nikmati setiap kekenyalan ati ampela dan rasa gurih yang berasal bauran santan kelapa dan bumbu-bumbu. Semakin lezat, sebelum dibungkus atau setelah diaduk, bisa ditambahkan telur rebus yang telah dipotong-potong.
Saat menatap Ilabulo: Abaikan rupanya, tapi icip saja rasanya!
Kuliner kelima: Sayur pakis. Jenis sayuran pakis banyak dimasak masyarakat berbagai daerah di Nusantara. Orang Gorontalo (Hulonthalo) mengkombinasikan pakis dengan daun dan bunga papaya. Bumbu-bumbunya sederhana: bawang merah dan putih, cabai rawit, garam, dan minyak secukupnya.
Agar tidak pahit, remas perlahan bunga dan daun papaya hingga airnya yang mengeluarkan rasa pahit hilang. Ada juga yang merebus daun dan bunga papaya agar rasa pahit hilang dan menjadi empuk. Memasaknya cukup mudah; hanya ditumis. Tanaman sayur pakis dan papaya banyak tumbuh di atas tanah Gorontalo, tidak heran menjadi makanan yang kerap disajikan di rumah-rumah penduduk.
Kuliner keenam: Tobu’u. Atau kue perahu. Tobu’u adalah penganan yang banyak penggemarnya. Ketika menikmati aneka kuliner Gorontalo, serasa tidak lengkap jika tidak ada tobu’u. Sama halnya saat berbuka puasa di bulan Ramadhan, hulanthalo menyajikan tobu’u menjadi menu wajib. Sebab, gula merah dan rasa pandan memberikan kesegaran yang menambah energi dan sensasi feeling (multisensory).
Selain gula merah, ada santan, irisan buah kelapa muda, air daun suji, daun pandan, telur, dan tepung terigu yang merupakan bahan-bahan membuat tobu’u. Membaca bahan-bahannya, terbayang, ‘kan, bagaimana sensasi rasanya?
Kuliner khas Gorontalo tidak hanya enam di atas, tapi banyak yang bisa kita icip. Sate tuna, sate kambing balanga, ikan/ayam bakar rica, suwir ikan cakalang, ayam iloni, sayur putungo, tilumi lo kando (sayur kangkung), pilitode lo poki-poki (terong),sambal dabu-dabu, dan lainnya.
Srikaya Bakar Wapili
Sedangkan menu kudapan, mesti mencicipi lalampa (persis lemper, tapi berbahan ikan), tili aya, popolulu (bahan dasar: ubi jalar), kukisi karawo (kue kering bermotif karawo/kerawang), cara isi, duduli (dodol Gorontalo), saraba, wapili, srikaya bakar, omu (es kelapa muda), dan es meralda (kacang merah dan durian).
Di Gorontalo, hampir semua bumbu-bumbu yang digunakan ditumbuk (tidak terlalu halus), memakai kelapa yang diparut sendiri, dan dimasak di atas kayu atau arang. Namun, seiring kemudahan teknologi dan “penghematan waktu”, orang-orang kota (misal: Jakarta) sering mengunakan blender untuk menghaluskan bumbu/bahan. Yang sebenarnya mengurangi cita rasa kekhasan makanan.
Café Pidis Gorontalo
Menu-menu makanan di atas bisa disantap di salah satu café yang terletak di kawasan Jakarta Selatan, yaitu Café Pidis Gorontalo. Kalau kantor kamu berada di Jalan Kapten Tendean, silahkan datang dan icip-icip kuliner khas Gorontalo. Setiap harinya, Café Pidis Gorontalo menyajikan menu-menu yang berbeda. Jika ingin menikmati nasi kuning khas Gorontalo, bisa menghubungi terlebih dahulu, untuk mengetahui ketersediaannya.
Buka: Senin – Sabtu (11.00 – 17.00)
Lokasi Café Pidis Gorontalo:
Gedung Radiant Utama,
Jl. Kapten Tendean No. 24
Telp/WA: 0813 1094 1743
Sumber Cover Image: Gorontalo Culinary by Omar Niode Foundation
Thanks to: Tante Amanda Katili Niode, Om Rivai, dan Cafe Pidis