Ulasan Novel “Orang-Orang Gila”

0
1078
Buku Orang-orang Gila, copyright www.sarinovita.com

Siapa yang gila, mereka atau zaman? Membaca judul Buku “Orang-Orang Gila” pertanyaan itu langsung muncul. Kemudian, saya menerka-nerka bentuk kegilaan seperti apa yang ditulis Han Gagas dalam buku terbarunya ini.  Apakah persis dengan dugaan  kepala saya?

Cerita dibuka dengan kisah Marno yang berada di ruang isolasi rumah sakit jiwa. Dari ruang sempit, gelap, lembab dan bau itu, Marno kelaparan dan hanya mampu mendengar percakapan hembusan angin. Jika ada suara manusia pun, paling hanya menceritakan mengapa dia bisa sampai di sini. Setelah itu, suara-suara menjengkelkan itu hilang ditelan dinginnya malam.

Bagian berikutnya, kisah Marno masih berada di rumah sakit jiwa. Sosok-sosok lainnya muncul bersama rupa, perangai, dialog, dan perkelahian antar orang-orang gila. Yang sering dilerai para perawat, atau  malah bikin mereka tertawa ngakak sampai semua yang ada di sana tertawa bersama, mentertawakan kegilaan.

Namun, saya sarankan untuk tidak berpikir bahwa buku ini hanya berkisah orang-orang gila di rumah rehabilitasi kesehatan mental. Sebab, bab-bab selanjutnya  bakal membuat kita kembali menatap peristiwa-peristiwa ganjil, indah maupun perih, yang melibatkan emosional, dan itu terjadi pada orang lain. Lalu, kita kembali mengingat peristiwa dan nasib kita sendiri.

Tujuh belas bab disuguhkan silih berganti antara tokoh Marno dan Astrid yang dirangkai alur maju-mundur kemudian linear. Diceritakan secara  gamblang tanpa melupakan riwayat masing-masing tokoh. Seperti kita ketahui penyakit mental selalu berhubungan dengan riwayat sejak masa kecil sampai dewasa. Historis yang terdapat benang-benang merah yang seringkali kusut dan sulit diurai.

Kisah riwayat tidak saja seputar para tokoh utama, tapi juga tokoh Tante Lisa yang kalau dalam film posisinya sebagai peran pembantu. Saat usianya baru beberapa hari di bumi, dia dibuang dan diletakkan di depan rumah. Sebuah rumah yang hampir semua penghuninya berprofesi pelacur. Tante Lisa-lah yang membantu Astrid ketika diusir dari daerah tempat tinggal dan mengurangi kepedihannya akibat pemerkosaan yang dialaminya berkali-kali. Tak heran, perjalanan hidup Astrid selalu di bawah bayang-bayang Tante Lisa—perempuan yang tak lagi muda dan pernah mencintai seorang penyair. Di hari tuanya,  dia menjadi germo setelah kurang laku, tapi masih punya daya tarik kuat.  Lalu Tante Lisa jatuh cinta pada seorang anak muda berprofesi pelukis—yang  membalas geloranya—dan   hobi membaca buku seperti Astrid.

Pun, Marno senang membaca buku dan tidak bosan berkali-kali menikmati karya Pramoedya Ananta Toer, Chairil Anwar, dan W.G. v.d. Hulst. Orang-orang gila macam apa yang ditulis oleh Han Gagas dalam bukunya ini?

 

Sekilas Kisah “Orang-orang Gila”

 Astrid jadi senang berendam di kamar mandi dari pagi sampai malam. Melamun, menangis, putus asa, dan  kosong pikirannya. Saat kemurungannya berhenti, dia akan bernyanyi lagu apa saja dengan perasaan gembira. Juga membersihkan kotoran rumah berkali-kali. Meski sudah dibersihkan, bagi Astrid, lantai rumahnya masih saja terlihat kotor. Tetangganya tahu persis perilaku Astrid ini dan masih berdamai dengan hal ini. Suatu malam, Astrid kedatangan empat pria yang sengaja memperkosannya. Kejadian itu menambah kepedihan dan keanehan Astrid yang orang tuanya baru saja meninggal karena ditabrak kereta api.

Pada bagian riwayat Astrid, segala apa yang ada di pikirannya tumpah dan menjadi kebahagiaan semrawut dan perasaan yang kacau balau. Selanjutnya, cerita melompat, kembali ke Marno.

Meski mengalami trauma dan gila, Marno bisa berpikir  untuk keluar dari rumah sakit jiwa, maka ia bersikap baik dan tidak bikin gara-gara. Usahanya ini berhasil. Lalu, riwayatnya muncul.

Berawal dari membaca banyak buku, Marno dan episodenya yang tak terduga, proses membacanya tidak berhenti. Ia terus berjalan, dari satu desa ke desa, dari satu kota ke kota lainnya, menggelandang. Suatu malam, cahaya bulan purnama merasukinya menjadi manusia yang berbeda dari sebelumnya dan mendapatkan kemampuan “membaca”, hingga ia mencapai kecerdasannya.

Marno berwajah buruk, aneh, dan idiot, ditambah julukan “orang gila” dan “pembunuh”, tapi satu kawasan dihidupkannya tanpa disadarinya. Sungai yang awalnya kotor menjadi bersih dan diikuti uang yang mengalir. Adanya wajah sungai yang baru, penduduk sekitar dan orang luar bisa berjualan dan mendapatkan kesejahteraan. Sedangkan kehidupan Marno menjadi cukup karena tanpa disadarinya, ia mampu membaca mimpi  sehingga orang-orang dari mana-mana datang berkunjung ke rumahnya yang berada di kolong jembatan. Mereka  menjadi pasiennya,  bertanya mimpi sekaligus berkonsultasi.

Namun, suatu malam ia bermimpi didatangi lima pria yang membuatnya kembali menjadi gila dan gembel, lalu berjalan terus tanpa tahu di mana titik tujuannya. Meski, semburan cahaya dari purnama dilanjutkan kembali pada perjalanan yang berada di luar kekuasannya. Yaitu: garis hidup yang derita.

Di lain sisi, Astrid melakukan hal sama, terus berjalan tanpa tahu ke dan di mana titik tujuan. Setelah berhasil lepas dari Tante Lisa. Astrid tak lagi menjadi pelacur, berkat pengorbanan cinta seorang pelukis yang hobi membaca buku. Pelukis yang rela menyerahkan dirinya diikat oleh Tante Lisa agar Astrid bisa lepas dari kehidupannya yang gelap. Cinta memang membuat orang jadi gila, tapi pengorbanan tidak pernah sia-sia, tidak seperti judul  lukisannya: “Kesia-siaan Cinta”. Jika tidak gila, tidak mungkin si pelukis berani mengorbankan sesuatu yang belum tentu orang lain mau melakukannya. Sebab, keberanian hanya dimiliki oleh orang-orang gila.

Akhirnya, takdir menemukan Marno dan Astrid di permakaman yang tak lagi dirawat. Mereka berjumpa setelah lelah berjalan dari arah yang tak beraturan. Saling jatuh cinta dan berdua memiliki hidup. Tapi, pengulangan-pengulangan peristiwa datang kembali secara kejam. Seolah pengulangan itu doyan bermain bersama mereka.

 

 

Setelah Membaca “Orang-orang Gila”

 Marno mengatakan kepada Astrid bahwa mereka tidak perlu negara untuk hidup. Mereka juga berpendapat bahwa sekolah memang penting tapi membaca itu lebih penting. Senyum saya merekah setelah membaca paragraf  tersebut.

Membaca melahirkan kepintaran tapi belum tentu kecerdasan. Perjalanan Marno membuktikan hal tersebut. Menyebabkan dirinya harus masuk rumah sakit jiwa, juga penjara. Episode milik Marno membawa pemikiran lebih jauh.  Rumah sakit jiwa dan penjara, termasuk para penghuni dan tingkahnya, dideskripsikan secara baik dan hidup oleh penulis. Han Gagas tidak hanya mewawancarai orang-orang yang pernah dan masih terlibat, dia juga langsung terjun, masuk ke dalam rumah sakit jiwa dan penjara. Riset yang dilakukannya, membuat saya benar-benar berada di tempat tersebut dan tak ingin berhenti mengikuti alurnya.

Siapa yang gila, mereka atau zaman, atau garis hidup? Saya mengulang kembali kalimat dan menambahkan satu kata pada pertanyaan ini. Sebab, saya menyukainya dan ada kosakata suwung di halaman 23, begini bunyinya:

Demikian juga bila masih sedih, masih merasakan suka, senang, dan gembira, artinya dia masih bisa terwaraskan, tetapi bila sudah merasakan semua hal itu, jadi dingin, beku, dan kosong, itu mulai suwung, gila sepenuhnya.”

 

Secara personal, kalimat tersebut mempunyai arti mendalam, entah pembaca lain. Intrepretasi orang memang berbeda-beda: ada yang menganggap kalimat itu biasa-biasa saja, ada yang merasa tidak ada sangkut-pautnya dengan zaman, dan mungkin sekali, ada yang mendambakannya.

Zaman memang sudah edan, tidak sedikit orang-orang berupaya ataupun tanpa sadar, menjadi gila. Suatu bentuk kegilaan yang serempak, yang tidak saya pahami konstruksinya. Berbeda dengan  Marno, malah berpikir ke depan dan lebih terang.

 “Di makam kita bisa mengingat mati, dan ingat mati bisa memulihkan kesadaran, sekaligus memunculkan tanya; neraka atau surga, manusia baik atau jahat, sembahyang atau tidak?” – dikutip dari halaman 219.

Pada akhirnya, mengingat kematian dengan berbuat baik dan waras saja tidak cukup. Walaupun,  Marno dan Astrid sudah berusaha “tidak waras”, tetap saja pengulangan perkara terjadi. Garis hidup yang menyakitkan. Jika  kembali membaca lembar ketiga buku, tertera: “Untuk para bajingan yang punya rasa bersalah dan keinginan untuk memperbaiki diri.

Maka, saya bertanya, berapa banyak karma yang harus dibayar lunas? Bukan bajingan pun mendapatkan goresan hidup yang bikin sinting. Marno dan Astrid memiliki rangkuman kisah yang tak sama. Dari keduanya, bagi saya, perjalanan Marno sangat mengesankan. Ia memiliki kesintingan yang mengkhawatirkan, tapi bisa memancing tingkat “kecerdasan” kita. Pembaca akan merasakan alam dan semesta yang berkonspirasi memberikan kebahagiaan, sekaligus fragmen yang menghancurkan Marno.

Sedangkan Astrid adalah manusia paling sial dan Tuhan memberikannya kebahagiaan sunyi yang indah. Saya ramal, kehidupan Astrid bakal mengaduk-aduk perasaan pembaca wanita. Namun, cerita novel “Orang-orang Gila” tidak berhenti di garis kebahagiaan, seperti hidup yang terus berjalan, kesialan maupun keberuntungan akan terus datang, ibarat sepasang kekasih yang tak terpisahkan.

 

Tentang Han Gagas

Mulanya, saya mengenal Han Gagas sebagai cerpenis yang tulisan-tulisannya kerap muncul di koran-koran. Saya tidak tahu, dia sudah menerbitkan buku fiksi sejak tahun 2010. Novel “Orang-orang Gila” merupakan buku berbentuk novel yang pertama kali saya baca. Tapi saya sudah tidak bisa menghitung berapa kali membaca cerpen-cerpennya. Karya dalam bentuk buku, pertama kali yang saya baca ialah   kumpulan cerpen “Catatan Orang Gila” (terbit tahun 2015), kumpulan kronik yang saya katakan padanya, buku fiksi yang bukan fiksi.

Kehidupan orang-orang yang terganggu kesehatan mentalnya telah menyentuh hati Han Gagas. Orang lain hidup enak dan nyaman sedangkan orang-orang yang sakit itu hidup gelandangan di jalan. Han Gagas jadi sering  bertanya apa yang sedang terjadi pada mereka sampai hidup seperti itu.

Inspirasi buku “Orang-orang Gila” diperolehnya dari seorang wanita yang cantik dan menarik tapi mengalami gangguan mental.  Bahkan, dulu, Han Gagas sempat naksir wanita itu. Kedua,  Han Gagas pernah beberapa kali menjenguk adik teman kakaknya yang dirawat di rumah sakit jiwa. Ketiga, dari tetangganya yang saat “sembuh” menjadi teman nongkrongnya. Lainnya, dia pernah menemukan langsung orang-orang yang sedang sakit itu dan pengalamannya ini melekat dalam benaknya.

Han Gagas telah berhasil menyajikan kisah tragis dari proses membaca orang-orang yang terganggu kesehatan mentalnya. Mas satu ini membuat kisah Marno dan Astrid dengan teratur memadukan manusia, zaman, dan garis hidup. Jadi, siapa yang gila, mereka, zaman, atau garis hidup?

Buku Orang-Orang Gila @Mojok

Judul Buku                  : Orang-Orang Gila

 

Penerbit                       : Mojok

 

Cetakan                       : I (pertama) – Februari 2018

 

Halaman                      : 254 Halaman

 

Penulis                         : Han Gagas

 

Penyunting                  : Syafawi Ahmad Qadzafi

 

Pemeriksa Aksara         : Nody Arizona

 

Illustrator Sampul       : Ega Fansuri

 

Penata Isi & Sampul   : Azka Maula