Friksi Benang Merah Dari Tetralogi Kitab Metafiksi

1
629
Friksi Benang Merah by Ruhlelana

Sudah lama aku ingin menyerah dari kegilaan sastra, lalu keluar dari kubangan teks-teks menjijikkan ini. Tapi realitas selalu menarikku kembali ke dalamnya. Kewajibanku pada Semesta –termasuk di dalamnya manusia yang berhasrat kotor, dingin, dan kering – selalu membuatku berpikir keras untuk kembali menyusun diri dalam kerumitan sastra. – dikutip dari buku #FriksiBenangMerah, 2017.

Di atas adalah satu paragraf berupa surat Niskala yang ditujukan kepada Ruhlelana, yang bernama sama dengan nama belakang penulisnya, …Ruhlelana.  Sedangkan Niskala adalah tokoh yang acap ditemukan dalam buku tetralogi Kitab Metafiksi. Dalam buku pertama dari  Kitab Metakfiksi berjudul Friksi Benang Merah [FBM], kita bakal mengenal tokoh lain, seperti; Samantha, Chartreuse, Shifra, Bang Sony, Gateauxlotjo, Atisha,  sampai si Cepot, tokoh wayang [Astrajingga],  penyair, Chairil Anwar [yang berperan sebagai penjagal maut], Jim, dan Borges.

Banyak tokoh, banyak pula kisah yang saling terkait, kemungkinan pembaca bisa berulang-ulang kali membaca.  Namun, inilah tujuan si penulis, …Ruhlelana. Dia juga bilang bahwa buku yang ditulisnya ini, bisa dibaca dari halaman mana saja, sesuka hati pembaca. Saya mencoba membaca secara tidak berurutan, hasilnya saya masih bisa menikmati, walaupun saya lebih memilih membaca secara berurutan.

 

Friksi benang merah karya Ruhlelana

Sebelum FBM  terbit 2017, saya pernah membaca Fiksi-Fiksi Benang Merah [Dalam 4 Genre], Niskala dan Sebuah Novel Berjudul Episode IV, dan draft FBM [Mixtape] yang masih disusun berulang-ulang oleh si penulis. Ada perbedaan dari segi struktur cerita antara FBM dan draft-draft yang sebelumnya. Setelah melalui tahap “penyaringan” dan “pengemasan”, FBM  menjadi terasa lebih lezat dan segar, seolah-olah ia seekor ikan yang baru saja ditangkap dari laut dan langsung diolah, lalu dhidangkan di meja panjang. Ini dari sudut pandang saya sebagai pembaca.

FBM adalah buku pertama dari tetralogi Kitab Metafiksi [judul sebelumnya Kronik Metafiksi]. Buku keduanya diberi judul Metafiksi Niskala, buku ketiga: Labirin Ingatan, dan buku keempat: Taman Rahasia. Metafiksi Niskala telah diluncurkan pada saat Hari Idul Fitri, 25 Juni 2017. Selanjutnya, kita akan masih menunggu peluncuran Labirin Ingatan dan Taman Rahasia  dengan konsep yang masih rahasia.

Peluncuran FBM cukup unik, penulis dan teman-teman penulis asal Cianjur, melarung buku ini di sungai Cianjur. Buku kedua, Metafiksi Niskala diluncurkan secara prosesi penguburan buku Niskala dan Sebuah Novel Berjudul Episode IV di pemakaman Cianjur. Mengapa malah buku Niskala dan…yang dikubur bukan #MetafiksiNiskala? Sebab, draft Niskala dan Sebuah Novel Berjudul Episode IV yang “dijarah” penulis ke dalam Metafiksi Niskala. Karena hari raya Idul Fitri, Metafiksi Niskala terlahir kembali melalui buku kedua ini dan buku sebelumya [Niskala dan…] dikubur.

“Prosesi ini menandakan kuasa saya terhadap buku yang saya tulis telah hilang, menjadi kuasa Semesta dan pembaca,” begitu kira-kira penulis berujar saat pelarungan FBM dan penguburan buku Niskala  dan Sebuah Novel Berjudul Episode IV.

Tetralogi Kitab Metafiksi telah menjalankan proses penulisan yang cukup panjang. Perjalanan penulisan yang tidak mudah dan memakan waktu selama 20 tahun. Sebuah angka yang serius. Proses editing saja dilakukan berulang-ulang. Selama 20 tahun itulah, draft-draft yang bermula sejak tahun 1997 dikumpulkan, lalu dipilah dan disajikan ulang ke dalam Kitab Metafiksi.  #KitabMetafiksi tetap orisinil, perubahan struktur melahirkan perbedaan yang membuat buku bagaikan lahir kembali.

Dan jika ingin membaca Kitab Metafiksi, penulis menyarankan pembaca membaca  dari buku pertama sampai keempat secara berurut.

Rangkuman Friksi Benang Merah

“The Lovers”, jika kamu penggemar kartu tarot pasti tahu maksudnya secara luas.  Simbol ini memang tepat dipersembahkan untuk Friksi Benang Merah. Halaman pertama dibuka dengan prelude yang memperkenalkan tokoh Cepot, Shifra, Bang Sony dan Eloprogo, Chairil yang penasaran dengan lelaki Cina botak, Pak Haji, Pak Bisu, Atisha, kisah Chartreuse dan Cyan, dan Ruhlelana.

Bagian pertama dibuka dengan pilihan-pilihan metode bunuh diri sekalian tingkat kesakitannya. Suka me-review restoran dan hotel atau film? Kira-kira mirip seperti itu. Kemudian, kisah beralih pada Chartreuse yang menyaksikan pelemparan dadu Ruhlelana. Pada bagian inilah angka yang keluar dari dadu menjadi langkah awal sebuah kisah panjang seorang manusia. Seorang pria yang kemudian bertemu Samantha dan Niskala, seorang rock star. Perjalanan Niskala penuh lika-liku ditambah persoalan cinta, tidak berbeda dengan tokoh Ruhlelana. Setiap kejadian percintaan dibangun dengan keindahan dan uraian-uraian yang mengemaskan. Jatuh cinta, hasrat seksual,  rindu, kehilangan, dan seorang wanita, dan bertambah lagi wanita lain. Membuat kehidupan semakin kompleks, tapi siapa yang bisa menolaknya …

Antara Chartreuse dan Ruhlelana saling bergantian lakon dengan Samantha dan Niskala. Sebab, mereka saling berkaitan dan tak berujung pada buku ini. Kisah Chartreuse dan Ruhlelana terus berjalan walaupun berada pada jarak yang memisahkan. Tetap saling terhubung meski Ruhlelana menemukan cinta baru. Begitu pula Niskala.

Pins Up Chartreseu. Copyright: ruhlelana.com
Pins Up Chartreuse

Chartreuse adalah wanita cantik dan cerdas yang pada awal perjalanan hidupnya tidak berbeda dengan gadis-gadis muda lain. Lalu, setelah kematian Cyan, dia menjadi gelap, dan muram. Chartreuse juga wanita muda dengan banyak penggagum, hampir semua teman Niskala menyukainya, termasuk Ruhlelana.

Niskala dan keenam temannya bertekad menuliskan naskah Kitab Metafiksi dan mereka ingin melibatkan Chartreuse. Keinginan mereka disambut baik oleh Chartreuse. Jadilah draft berjudul: Episode IV. Pada pertemuan terakhir, Niskala menyerahkan draft tersebut kepada Ruhlelana . Usai masa berkabung Chartreuse atas kematian Cyan, selama setahun dia dan Ruhlelana bertemu, saling mengurai hasrat labirin, saling berciuman, berkekasihan, saling mendengarkan, bercinta, dan saling menyembuhkan skizofrenia yang mereka alami. Setelah itu, Ruhlelana  meramu Episode IV dan draft lainnya menjadi Kitab Metafiksi.

Cerita belum berakhir, masih ada Niskala dan petualangannya. Sampai suatu ketika Niskala bertemu Gateuauxlotjo. Pada bagian terakhir, Efek Kupu-kupu [the butterfly effect], kedua tokoh tersebut memperbincangkan tanda-tanda dan menerjemahkan peristiwa yang terjadi pada diri masing-masing. Benang-benang merah ditutup Niskala yang menantikan Cepot. Dan, misteri tetap menjadi misteri, sebab itulah keindahan perjalanan. Sebuah buku tentang fiksi yang merawikan fiksi. Yang diselipkan petualangan-petualangan dan sungai Eloprogo yang magic.

Ulasan Friksi Benang Merah

Sejak pertama kali sampai terakhir, dari draft sampai FBM diterbitkan pada tahun ini, saya selalu menikmati gaya penulisan adegan atau episode yang silih berganti.

Banyaknya tokohtokoh membuat saya berupaya membaca mereka secara perlahan, satu per satu, lantas membayangkan mereka berbicara dengan saya. Tak jarang, saya meraba rangkaian peristiwa mereka, kadang saya tak paham, lalu menyentuhnya kembali. Membaca peristiwa-peristiwa dalam buku ini, saya serasa berada dan menyaksikan langsung kumpulan kisah yang disebut penulis, FIKSI.

 

Chartreuse, fiksi memang bukan fakta

Tapi bukan berarti tidak nyata

Fiksi memang bukan fakta

Tapi bukan berarti aku bohong padamu.”

~ [Di Sudut Heritage, halaman 120].

 

Fiksi memang fiksi, seperti bait di atas, saya tak perlu lagi menjelaskan secara bertele-tele. Bagi saya fiksi itu obat penyembuh, kebebasan, dan kebahagiaan, baik itu dibaca maupun dituliskan. Perihal tersebut, saya temukan dalam FBM. Buku ini bagai panggung seni yang menyusun keindahan. Seni itu indah, dipandang, disentuh, dibaca, didengarkan, dan dirasakan. Seni itu kebahagiaan. Ada beberapa poin yang membuat saya berkesimpulan bahwa buku ini sebagai panggung seni. Kalau sastra jelas itu bagian dari seni. Tapi FBM tidak sekadar bicara sastra.

Pertama, prelude FBM merupakan kisah-kisah yang dipilih …Ruhlelana dari buku Fiksi-Fiksi Benang Merah [Dalam 4 Genre]. Yang selanjutnya di-mixed up seperti mixtape pada sebuah album –  kumpulan lagu yang dikurasi. Jadi, jelas FBM dan Fiksi-Fiksi Benang Merah [Dalam 4 Genre] berbeda, meski  punya konsep sama: kental dengan unsur-unsur musik.

Tubuh  FBM terdiri dari prelude, Side A, Side B, Side C, dan epilog. Lirik-lirik lagu dan perangkat musik cukup lekat bersenandung pada buku ini. Begitu pula perihal skizofrenia. Pembaca pasti akan mengira satu dan satu tokoh mengalami gangguan kesehatan mental ini. Mengutip apa yang diucapkan penulis saat soft launching FBM, “pada zaman itu dan saat ini, orang-orang sedang mengalami skizofrenia, kemudian di-metafor-kan pada kisah tokoh yang kerap mendengarkan suara-suara.”

Suara-suara itu muncul satu-satu, satu persatu. Suara-suara yang ditafsirkannya berasal dari memori-memori audio di otaknya yang secara kreatif membuat komposisi denging, desis, dan detak dalam sebuah aransemen frekuensi yang dituangkan secara akurat dan matematis. Hasilnya adalah serbuan hiruk-pikuk audio yang bisa kau atur sendiri playlist dan komposisi equalizernya: mantramantra–doadoa–rintihanrintihan–suarajilatan–mencekik– sabdasinis–hantuhantu–melingkarkansenjapadaterbenamnyamataharipucat–hentakankakipadasepatuyangtengahberlari–airwudhumeluncurderasdarikerantoiletmasjid–beribumalaikatmendekat–berkelebatan–mencabutnyawa–suarakepakribuansayap- gemuruhangin

~ [halaman 74]

 

Elemen musik dan skizofrenia dilibatkan penulis secara eskperimental dan polifonik yang melodi, ritme, dan harmoni yang bergerak tak terikat, tanpa meninggalkan pedoman. Kisah-kisah laksana  mempunyai pesona masing-masing dengan penampilan gaya penulisan yang berbeda dan unik.

Kedua.

Suatu hari Niskala menangis.

“ ,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,, “

Dia ingin menjadi dirinya sendiri.

Setelah sekian lama menjadi apa saja.

Peran apa saja yang ditugaskan untuknya.

 

Tuhan menjawab tangisan Niskala:

NISKALA ANAKKU

SEPERTI JUGA AKU

TAK PERNAH MENJADI DIRI SENDIRI

AKU ADALAH SEGALANYA

DAN BUKAN APA-APA

~ [halaman 153]

Di atas adalah karya Jorge Luis Borges yang diadaptasi oleh penulis. Semoga saya tidak salah, struktur penulisan di atas disebut tipografi yang kerap diaplikasikan oleh penulis puisi kontemporer. Selain huruf dan diksi, tipografi juga menonjolkan keindahan fisiknya. Tipografi atau bukan, saya rasa penulis suka menulis dengan gaya seperti itu, tidak menghiraukan apakah itu tipografi atau entah. Terpenting bagi penulis ialah menciptakan karya dengan gaya yang tidak hanya berbeda atau unik tapi juga menyertakan isi dan rima selayaknya puisi.

Ketiga. Bagi saya bicara FBM berarti menyangkut soal RASA. Karya yang berisi puisi, naskah, surat, lirik lagu, musik dan perangkatnya, dan resensi, semua disajikan mengunakan bahasa yang cantik, mengalir, dan enak dibaca. Seolah-olah kata demi kata bernafas: dihirup baunya, dilekatkan ke dalam benak, diserap pikiran, lalu dialirkan ke seluruh sel darah tubuh, terakhir, berdetak dengan harmonis. Kemarahan, jatuh cinta, protes, teriakan, kekesalan, rindu, ketiadaan, duka, dan lainya berbunyi seperti denting gamelan pada malam hari yang memuncak di stupa teratas candi Borobudur.

Sebagai pembaca, saya seperti melihat langsung  keindahan alam yang dilihat penulis, seolah-olah rasa yang diukirnya menarik-narik saya.

Keempat. Saya selalu suka seni pertunjukan sejak kecil. Kisah Mahabrata bukan hal asing bagi saya dan kita semua. Namun, penulis memarodikan kisah Mahabrata dengan bahasa  nyeleneh. Kemudian, kisah diakhiri Ruhlelana yang membayangkan Chartreuse sedang berendam di kamar mandi hotel. Di sini saya tertawa keras dan mengelengkan kepala, dasar!

Kelima. Pun, saya beberapa kali menemukan kalimat, “berpisah untuk kembali,” yang barangkali  akan berlanjut di buku-buku selanjutnya. Entah, saya suka model penegasan yang mengandung arti seperti ini, yang tidak pasrah, ada gairah, dan  manis seperti gulali.

Keenam. FBM banyak menyuguhkan puisi beragam bentuk dan bahasa yang cantik. Di antaranya, saya menemukan puisi yang tiap akhir kata diakhiri huruf M.

alam malam kelam buram gumam suam selam

padam geram karam hantam

~ [halaman silahkan temukan sendiri]

Dan ini puisi favorite saya:

Saat jutaan tetes embun

Bergeser pada daun

Menyeruakkan riuh suara

Gesekan air menjadi gemuruh

Lalu kulihat tubuhmu meliukkan jutaan adrenalin

Pada mataku

Pada jantungku

Oh, Ratuku!

 

Gravitasi mati

Mati tadi pagi

~ [Lagi, silahkan temukan berada di halaman mana bagian ini]

 

Poetry springs from something deeper; it’s beyond intelligence.”  Saya tersenyum mendengar ucapan ini, lalu menangis. Seperti yang saya tulis di atas, puisi-puisi …Ruhlena membawa bahkan mampu melibatkan saya ke dalam berbagai kisah.  Pada bagian puisi “Di Sudut Heritage” yang tidak ingin saya katakan bagian yang mana, ada kalimat yang membuat saya menangis. Selanjutnya, Jorge Luis Borges berbisik,”this has happened and will happen again.” Eh, saya malah jadi berimajinasi …

Pada karya ini pembaca dipersilahkan untuk mencium bau apa saja yang penulis cium selama menulis karya ini. Belum tentu bau yang sama, namun yang lebih  utama ialah apa yang kita rasakan saat membaca, apakah dibawa ke jalan lika-liku yang membuat nalar bekerja, atau terbawa arus kisah yang bisa saja pernah terjadi pada pembaca. Mengapa banyak puisi? … Ruhlena menjawab,

” Sebab, puisi dapat membuat orang lebih merasa. Melalui puisi, pembaca bisa lebih merasakan emosi ceritanya.”

FBM memuat fiksi petualangan yang fiksi tersebut membuat petualangannya sendiri. Perjalanan yang berkisah perjalanan. Selama perjalanan kita akan menemukan ribuan bahkan jutaan pohon, yang memiliki sisilah dan riwayat, juga rasa-rasa emosional yang berbeda.Seperti halnya ratusan manusia yang kita jumpai selama setahun, cerita kita sendiri beraneka ragam saat bersama setiap persona atau kelompok yang kita temui. Dan itulah apa yang ada dalam Friksi Benang Merah. Baik itu berbentuk naskah, lirik lagu, prosa, maupun puisi.

Secara keseluruhan, FBM ialah sebuah karya psikedelik sastra yang cerdas … lukisan kisah yang melukis petualangannya…

Paintings is literature in colors. Literature is painting in language.” ~ Pramoedya Ananta Toer.

 

Tentang …Ruhlelana

Dia adalah penggemar Jorge Luis Borges garis keras.  Borges adalah nabinya. Borges tidak sendirian, sebab ada sahabat-sahabat si nabi seperti Milan Kundera, Italo Calvino, Chairil Anwar, Saut Sitompul, Afrizal Malna, dan lain-lain. Jika dilihat dari koleksi buku [dari buku klasik, fantasi, kontemporer, sejarah, agama, dan peradaban] di rumah Ruhelana, tidak heran tulisan-tulisannya menjadi padat berisi. Buku-buku fiksi dan non-fiksi berdiri rapi di rak buku. Penataan ruang yang rapi dan kerap berganti-ganti posisi, ditambah layar-layar yang menyala di meja kerja dan berbagai musik yang terus hidup, wajar saja karyanya begitu  kaya.

...Ruhlelana. copyright: ruhlelana.com
…Ruhlelana

Ruhlenana juga seorang pendongeng. Menurut teman-temannya, di setiap kota yang dihampiri, dia pasti mendongeng. Tapi sayang, saya tidak pernah melihat dia mendongeng.  Saya hanya pernah menyaksikan dia membaca puisi langsung tepat di hadapan saya.

Bakat ..Ruhlelana lainnya adalah bermusik dan bernyanyi, maka hadir band musik bernama “Samantha School”. JIka ingin melihat catatan Ruhlelana dan  graphic poetry silahkan berkunjung ke  ruhlelana.com/works

Kitab Metafiksi adalah cita-cita dan perjuangan … Ruhlelana dari kegilaan Niskala dan Samantha yang diciptakan menjadi karya sastra. Kegilaan sastra yang melahirkan tetralogi dengan suguhan karya seni yang sangat layak dibaca. Apalagi  yang senang membaca karya yang berbeda dari karya popular lainnya, karya ini bisa menambah penjelajahan kita … a must read …

Peradaban Eropa sampai maju sampai sekarang ini diawali dengan membangkitkan kembali sastra, puisi, drama, bahasa, tradisi, dan pendidikan. Lalu, kebangkitan tersebut dilanjutkan pada fase kedua yang ditandai, di antaranya: kesusastraan klasik, berkembangnya kesenian, dan kesusastraan baru. Sepertinya negeri ini perlu kembali membangkitkan gairah membaca dan menulis. Maka, menulislah dan membacalah…

Tulislah apa pun yang ingin kita baca, bukan yang ingin kita tulis, lalu bayangkan bahwa tulisan itu mungkin dibaca hingga ribuan tahun ke depan,” ~ Saut Sitompul.

Friksi Benang Merah

Judul Buku                    : Friksi Benang Merah

Cetakan                         : I (pertama) – Mei 2017

Halaman                         : 340 Halaman

Penulis                            : Ervin Ruhlelana

Tata Letak & Desain Sampul ; Yogi Margana

Harga Rp. 95.000 (Belum termasuk ongkir)

Pesan buku  melalui SMS/WA: 087820229777

Format: FBM/(Nama dan Alamat Lengkap)/(Jumlah pesanan)

1 COMMENT