30-31 July 2016, Goethe Institute, Jakarta. Sebelum menemukan tempat duduk yang disengaja berada dekat dengan panggung, wanita itu berdiri mengangkat jam bundar besar di atas kepalanya. Sampai di kursi, mata langsung melirik ke kanan dan ke kiri. Di sana ada lantai pentas berlapis putih. Seorang pria di meja lapaknya sedang menjagal dengan suara dentuman meja yang disengaja keluar. Seorang pria muda duduk di depan laptop, juga mementaskan suara. Lalu, wanita itu menurunkan jam dan berjalan ke tepi pentas seraya meminum sebotol air mineral. Dan dia langsung menghilang ke balik tirai hitam.
Pertunjukan “Yang fana adalah waktu. Kita abadi” belum dimulai. Tapi wanita itu masuk lagi. Si penjagal dan pengatur musik pun masih melakukan hal sama. Singkatnya, seorang pria bertubuh tinggi masuk dan menempelkan lakban membentuk segi empat. Kemudian, pria itu mulai tampak seperti berlatih tinju. Di sini, bisa dipastikan pertunjukan sudah dimulai.
“Yang fana adalah waktu. Kita abadi” (YFAWKA) juga diawali dengan iringan suara pria seperti rekaman kaset yang tidak begitu terdengar jelas. Yang tertangkap dan teringat bunyinya, “..banyak suara-suara, tapi sebenarnya kita tidak benar-benar bicara..”.
Sebuah boneka monyet beserta simbalnya duduk tenang di tengah panggung. Patung manusia tinggi berdiri di sudut. Boneka kucing di meja makan. Tali jemuran pun terpasang yang dilakukan oleh pemain dan tim set property. Segala properti yang masuk dan keluar dari panggung hampir semuanya diletakkan dan ‘dibersihkan’ oleh pemain. Darah yang jatuh perlahan kemudian menetes deras pun dibersihkan oleh para pemain. Perkara memindahkan meja dan kursi plastik cukup menarik perhatian. Dari detik ke detik, langkah ke langkah cukup matang dilakukan para pemain. Butuh latihan perhitungan gerak dan waktu yang tepat mengeksekusinya ke hadapan penonton tanpa cacat. Secara dalam penyusunan naskah saja, Teater Garasi meluangkan waktu 3 tahun yang dibuat beramai-ramai.
Cerita dimulai dari narasi sang Ibu, diperankan Erythrina Baskoro – tentang keluarganya yang berantakan/kacau. Si Rosnah (Arsita Iswardhani), anak perempuannya yang bekerja sebagai TKI di Hongkong dan pulang ke tanah air ingin menjadi artis plus tak lupa membanggakan payudaranya yang besar dan montok. Sang ayah (Gunawan Maryanto) yang hobi menembak ke udara bila mendengar suara adzan yang dikumandangkan si bungsu. Si bungsu (Ari Dwianto) jarang melepaskan helm bersama TOA yang berada dekat di bawah dagunya dan sering disebut sedeng oleh ibunya. Anak lelaki lainnya, Rosid Samudra (MN Qomaruddin) di awal pertunjukan diceritakan sebagai pria yang suka nonton fim porno dan suka mengucapkan “Fuck komunis!”
Di tengah haluan berubah, Rosid Samudra ingin terbang ke Afganistan. Sesampainya di sana Rosid mengirimkan surat kepada ibunya yang langsung dijawab saat itu juga.
“Dari negeri Arab, “ ujarnya. Dijawab oleh Rosid spontan membenarkannya, “Afganishtan.”
“Sama saja. Sama-sama Arab,” sang Ibu ngeles. Perempuan pemegang jam turut pula mengubah gerakan tubuhnya yang langsung disambar teriakan Ibu, “Eh, itu kenapa berubah posisi jamnya.”
Perubahan tidak saja pada keluarga Si Ibu tapi juga karakter. Sebut saja Si Ayah yang dalam jalan cerita berubah menjadi supir bis dan Si Bungsu menjadi kondekturnya. Adegan ini muncul dengan pembukaan “Stop teater tubuhnya, sekarang giliran teater realisnya..” yang membuat penonton serentak tertawa. Dua meja dan dua kursi masuk, jadilah bis kota. Seorang perempuan pun muncul menari yang langsung disambut celetukan supir dan kondektur bikin gegar tawa.
Properti meja dan kursi – tanpa menyenggol sang monyet, memang sederhana. Dialog-dialog, mimik, dan tarian perempuan lah yang membuat benda-benda tersebut menjadi sebuah bus yang lengkap.
Pemain lainnya duduk di tepi panggung. Sepertinya sang sutradara, Yudi Ahmad Tajudin, dan lainnya memang sengaja membiarkannya. Semua dibiarkan tampil adanya, kostum, ruang, properti, dan lagu karaoke bagai pertunjukan kehidupan. Kehidupan yang bicara jujur walau hidup terkadang mati. Tidak berbeda kehidupan Rosnah yang kembali pulang dan melihat satu per satu keluarganya berantakan. Ditambah dirinya yang harus mengurus anak tanpa suami.
Kehidupan tidak saja bicara cinta ataupun personal Ada peristiwa-peristiwa luar yang sengaja maupun tak sengaja manusia alami bahkan hanya bisa didengarkan dan dilihat dari jauh. Misalnya saja, peristiwa pemboman Bali di mana warga bumi tidak semua berada di lokasi tapi ledakannya begitu dekat di telinga. Atau kejadian 1998 dan PKI yang menjadikan memori tak terlupakan – meskipun ingatan terselubung yang tersembunyi itu bakal diungkap masa. Rentetan peristiwa memicu tim Teater Garasi mengurainya ke dalam sebuah pertunjukan. Diaplikasikan melalui pencarian susunan-susunan yang tidak sebentar. Rekaman suara-suara orang jihad yang sedang ‘berorasi’ sempat masuk ke seluruh ruangan.
Apapun yang ditemukan tidak saja berupa peristiwa besar namun YFAWKA tak lupa melampiaskan hal-hal yang kerap tak disadari manusia. Diimplementasikan melalui adegan non-verbal (gerak tubuh) ketika sang Ibu berkisah tentang lebaran. Tentang meja makan panjang sajikan menu rendang. Yang seketika semua pemain berhenti memerankan perannya dan berubah menjadi Anjing. Tapi imaji saya menyatakan itu serigala bukan anjing. Yang sangat rakus melahap hidangan. Dan plot selanjutnya mereka tak lagi berfokus pada makanan, melainkan pada kemarahan.
Pada kesakitan, kesedihan, kejatuhan, keresahan, kemuraman, kekerasan dan teman-temannya. Tanpa kehilangan keseksian, mereka berdiri. Lalu menggelepar –menjatuhkan diri berkali-kali. Jeritan yang keluar dari tubuh para pemain begitu terasa. Menjadi anjing maupun manusia dengan hitam dan putihnya, pemain bagai pindah ke dunia lain yang sangat dinikmati. Saking nikmatnya membuat pertunjukan kaya atmosfir. Terkadang kata-kata tidak perlu banyak dikeluarkan, terkadang juga tubuh punya andil untuk itu. Dan terkadang tubuh pun sunyi. Sunyi yang riuh bunyi. Bunyi tentang kejujuran.
“The body is the physical agent of the structures of everyday experience. It’s the producer of dreams, the transmitter and receiver of cultural messages, a creature of habits, a desiring machine, a repository of memories, an actor in the theater of power, a tissue of affects and feelings. Because the body is at the boundary between biology and society, between drives and discourse, between the sexual and its categorization in terms of power, biography and history, it is the site par excellence for transgressing the contraints of meaning or what social discourse prescribes as normal.” – Nelly Richard, Ahli Budaya.
Gerak tubuh berupa tragedi atau komedi bahkan drama, karma, dan trauma yang berbaur di dalamnya. YFAWKA merupakan paduan non-verbal dan verbal yang menonjolkan komed dan kehidupan yang miris. Barangkali YFAWKA ingin menampilkan ironi (terdengar pilunya dari dialog sang ayah), “Saya sudah menawarkan daging ke mana-mana tapi tidak ada yang mau. Daging ini saya potong sendiri. Saya juga membersihkannya sendiri. Dan halal..Saya tawarkan ke mesjid, ke…tapi tidak ada yang mau…” begitu kira-kira kalimat tak lengkap yang saya tulis. Mungkin juga pertunjukan seni ini bergenre tragedi komedi.
Realita mungkin saja humoris, tapi tragedi tetap tragedi. Tragedi pun bosan jika hanya tragedi, maka akhir yang indah dari yang pernah kacau menjadikan hidup sangat penuh. Seperti karakter-karakter, panggung, musik, properti, dan komunikasi terhadap penonton dalam YFAWKA yang penuh tak menyesakkan. Ada tawa, ada sedih, ada eforia kesenangan, ada risau, dan ada lost. Karena hidup begitulah adanya.
Bila sebelumnya tidak membaca sinopsis, penonton bakal mengira YFAWKA merupakan kisah sang Ibu. Ternyata bercerita tentang Rosnah yang dinarasikan oleh sang Ibu dan sedikit dari si bungsu. Penyampaiannya berupa alur, waktu, adegan, dan dialog verbal maupun non-verbal nyaris tidak terlihat. Beda halnya dengan perpindahan alur, peran, dan properti yang terlihat dihentakkan namun cukup jitu dileburkan.
Waktu pertunjukan yang tidak sampai 2 jam itu lumayan padat ditampilkan. Terlebih lagi, satu kisah bagai tidak pernah cukup dalam YFAWKA. Penonton serasa dipinta, “Sebut saja nama peristiwanya.” Tentu tidak mungkin semua kekacauan peristiwa digelar namun terlihat seperti itu YFAWKA membawa pagelarannya. Setiap kisah saling ingin berbicara, lompat-melompat yang mengerucut pada pusat inti.
Waktu dan gerak para pemain cukup lihai meramu potongan-potongan kisah menjadi makanan yang lezat. Sebut saja saya berlebihan, tapi saya menemukan keindahan di antara kekacauan-kekacauan Indonesia dan manusianya dalam “Yang fana adalah waktu. Kita abadi.”
Boleh saja pertunjukan disebut bertema tentang negara ini namun bukankah negara lain juga mengalami kekacauan? Kesimpulan, dunia itu kacau, siapa lagi kalau biang keroknya bukan manusianya.
Berpindah dari hal itu, keharmonisan yang keluar dari tubuh, bunyi, panggung, penataan cahaya menyemburkan kekacauan yang indah. Seburuk apa pun isu-isu yang tak kunjung selesai dan pengulangan kekacauan hidup, Tuhan selalu baik hati memberikan keindahan. Seperti sang Ibu yang kemudian dalam narasinya mengatakan bahwa kehidupan keluarganya berakhir bahagia.
Selamat Teater Garasi, tahukah di malam itu ada ‘surga’ di langit Jakarta?
.
Yang fana adalah waktu. Kita abadi:
memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga
sampai pada suatu hari
kita lupa untuk apa.
“Tapi, yang fana adalah waktu, bukan?”
tanyamu.
Kita abadi.” – Sapardi Djoko Damono
Keterangan :
- Sumber foto: Dokumentasi Amin Mohamad
- Tulisan ini sekadar rasa bukan ulasan apalagi kritik seni pertunjukan
Ulasan keren Mbak Calinop, seperti ikut menyaksikan langsung
terima kasih Mas
nice artikel
thankiess
Mambacanya serasa menonton pertunjukkannya. Sangat jarang saya sebenarnya membaca tulisan yang panjang tapi tulisan ini mengalir aja, tidak terasa malah selesai, xixixi. Makasih atas tulisannya mbak
makasih juga..
Banyak banget TKI yang mimpi jadi artis
karena di HK gaya hidup nya berubah
Setuju mbak…kekacauan yang ada biang keroknya manusia