Masih Hidupkah Bhinneka Tunggal Ika

3
991
Penduduk Lokal dan Non Lokal. Copyright: Sari Novita

“He who is different from me does not impoverish me, he enriches me. Our unity is constituted in something higher than ourselves – in Man.. For no man seeks to hear his own echo, or to find his reflection in the glass.” – Antoine de Saint -Exupery

“Unity in diversity” bahasa asing yang artinya sama dengan Bhinneka Tunggal Ika. Pengertian yang sama namun saya lebih suka menyebutnya dalam bahasa asing itu. Sebutan Bhinneka Tunggal Ika seperti memudar di telinga saya. Bagai Bhinneka Tunggal Ika yang sekarat!  Sebut saja saya telah membelot ke bahasa yang lebih universal itu.

Lebih universal dan lebih terasa. Seperti kita ketahui, Langit dan Bumi diciptakan Tuhan tidak sekejap, selama 6 hari dan 7 lapis.  Bumi dibangun terlebih dahulu sebelum langit, sebagai asas atau pondasi dan langit sebagai atapnya.  Sungai, gunung, matahari, bintang, ikan, dan alam semesta lainnya diciptakan sebagai ‘hiasan’ untuk ‘kesenangan’ manusia. Manusia yang awalnya hanya ada Adam (satu), Tuhan menambahnya menjadi dua dengan kehadiran Hawa dari tulang rusuk Adam. Dan,  proses kelahiran manusia tidak terhenti sampai di situ. Tuhan ciptakan manusia untuk berpasang-pasangan dan berkembangbiak.

Tuhan ciptakan lagi manusia dengan kulit, bahasa, ras, etnis, dan  gen yang berbeda melalui proses geologis. Dengan interaksi, kebutuhan, pengalaman, dan perkembangan, terciptalah ragam budaya, identitas,  keyakinan, adat-istiadat, etnik, pandangan, dan seni oleh manusia. Berawal dari satu, Adam, dan berlanjut jutaan manusia yang dikuti perbedaan-perbedaannya.

Kembali ke soal Bhinneka Tunggal Ika (berasal dari bahasa Jawa Kuno) yang artinya “Berbeda-beda tapi tetap satu”. Karena bumi sebagai pondasi, langit ialah atap, dan manusia yang berasal dari satu, sudah semestinya, kita kembali pada proses “karya” Tuhan.

Satu yang melahirkan jutaan kepala dan isi-isinya menurunkan lagi turunan perbedaan yang mau tak mau tinggal seatap. Perubahan alam maupun zaman pun diikuti perubahan ekonomi, sosial, pendidikan, politik, gaya kognitif, dan lainnya. Perubahan kebudayaan sebagai hasil cipta, karsa, dan rasa manusia yang memberikan nilai manfaat tapi bukan memusnahkan manusia yang menciptakan kebudayaan itu sendiri. Budaya yang buruk pun akan terkikis sendiri diseleksi oleh alam.

Masihkah kutipan dari karangan Mpu Tantular (Kakawin Sutasoma, abad ke-14) itu hidup di bumi Indonesia? Bhinneka Tunggal Ika berlandaskan harmonisasi dan  toleransi, dengan maksud segala ragam bisa hidup rukun, saling mencintai, dan saling pengertian. Nyatanya manusia modern lebih senang intoleransi dan merampas hak manusia.

Contohnya saja perusahaan swasta, penerima PNS, dan sebagainya tidak memberikan kesempatan bagi calon-calon pekerja yang bertato. Seni tato telah ada pada zaman logam 1500 SM – 500 SM yang dibawa oleh orang-orang Mentawai ke pantai barat Sumatera. Tato bagi suku Mentawai adalah roh kehidupan, media pemujaan, mulia, simbol keseimbangan alam, jati diri, kedudukan/status, keturunan dan upacara adat. Tato bagi wanita suku Dayak pun digunakan sebagai keindahan dan harga diri. Bagaimana jika calon itu berasal dari Mentawai yang punya tato? Nah bagaimana juga bila calon pekerja  dari suku Mentawai ataupun suku Dayak? Tato bukanlah hal yang mengambarkan keburukan atau kekerasan pada seseorang seperti yang ‘ditangkap’ orang-orang berpikiran seperti ini.

Gema Bhinneka Tunggal Ika

Diskusi tato ini terkait pembicaraan Arman Dhani yang diwawancarai Wulan (blogger) pada acara Gema Bhinneka Tunggal Ika, 11 Agustus 2016, Kemang, Jakarta. Kegiatan ini melibatkan topik RUU Minol, prostitusi/pornografi/pornoaksi, gender, kuliner babi guling, makanan haram-halal, pembakaran tempat ibadah bahkan sastra. 23 LSM, Forum MBB, Liberty Studies, dan Freedom Society menandatangani Deklarasi Aliansi Kebhinnekaan.

Deklarasi tersebut dicetus berdasarkan Indonesia dibangun atas ragam bahasa, budaya, dan golongan. Dalam deklarasi ini mereka menentang sikap intoleransi yang terjadi di negeri ini. Menentang  kelompok-kelompok, Perda, Pemerintah, dan orang-orang yang berpikiran diskriminatif.

Acara Gema Bhinneka Tunggal Ika punya tujuan mengajak bersama-sama menciptakan Indonesia lebih inklusif. Juga mengajak anak muda untuk berpikir dan berbicara secara kritis. Robi Navicula (pengisi acara) mengatakan kegiatan seperti ini buat  regenerasi (anak muda) untuk mengingatkan kembali Bhinneka Tunggal Ika. Sebab, bagi Robi semakin ke belakang, kebhinnekaan semakin berlawanan. Perbedaan-perbedaan yang muncul seharusnya dijadikan pondasi dan identitas. Anak muda dipupuk berekspresi dengan merdeka. Keberanian bereskpresi inilah yang diharapkan dari Robi dan kegiatan semacam ini.

Photo: Negeri Sendiri (Terry E)

Bicara “Merdeka” secara langsung berhubungan dengan kebebasan. Kebebasan seperti apa yang diperjuangkan? Dalam hal seni budaya yang notabene identitas? Berperilaku merdeka dengan tidak mematuhi aturan lalu lintas atau menghakimi orang tanpa bukti dan data?

Robi Navicula, Marjinal (band musik), Rudolf Dethu (Forum MBB), Rocky Gerung (Dosen Filsafat UI), Arman Dhani, 23 LSM, dan teman lainnya, tergelitik pada RUU Minol (minuman beralkohol)  yang diusulkan Fraksi PPP dan PKS di DPR. Isinya pelarangan terhadap produksi, perdagangan, dan konsumsi minuman alkohol. Termasuk minuman alkohol oplosan yang mengakibatkan kematian. Oplosan, Robi dan lainnya secara terang-terangan juga tidak setuju. Yang membuat mereka menentang adalah beberapa isi RUU.

BAB 1, Pasal 1:

Berisi uraian detil pengertian minuman beralkohol, yakni minuman yang mengandung etanol (C2H5OH) hasil pertanian. Etanol hasil pertanian mengandung karbohidrat yang diperoleh dengan cara fermentasi dan destilasi.

BAB 2, Pasal 4:

Klasifikasi jenis minuman beralkohol yang dilarang. “Golongan A yang merupakan minuman beralkohol dengan kadar etanol lebih dari 1% hingga 5%. Golongan B kadar yang lebih dari 5- 20%. Golongan C kadar yang melebihi 20% – 55%, minuman beralkohol tradisional dengan berbagai jenis nama, serta minuman beralkohol racikan.”

Arak/tuak, ciu, sopi, moke dan lapen adalah aneka minuman tradisional Indonesia beralkohol yang melalui proses fermentasi dan destilasi dan mengandung etanol. Minuman jenis itu digunakan penduduk lokal di daerah Indonesia untuk menjamu tamu, upacara adat atau keagamaan, pengobatan, ritual, pernikahan, perayaan, syukuran, pendamping hidangan, dan lainnya.

Pohon Enau/ Copyright: Sari Novita
Pohon Enau/ Copyright: Sari Novita

Sedikit bercerita ketika hadir acara syukuran di Kampung Wogo, Flores, air putih yang biasanya menjadi minuman utama sama sekali tidak ada. Sajian kuliner menghidangkan makanan yang dicampur daging anjing juga sayurannya. Minumannya menyajikan Moke berdrum-drum. Tidak berbeda saat diundang makan siang di kawasan megalith, Ngadah, Flores, mereka menyajikan makanan ikan yang dibakar dari bambu. Tidak ada air putih, hanya ada minuman yang berasal dari pohon enau (moke).

Lain lagi cerita di Bali, pengrajin kayu dan seniman malah bekerja semangat bila meminum arak Bali. Di Nusa Dua, sekelompok penduduk lokal berbicara dengan saya panjang lebar dari jelang siang sampai malam tentang bisnis pariwisata, politik, reklamasi sampai urusan jodoh. Selain untuk menjamu tamu, arak dan jenis lainnya, bagi saya dapat menciptakan keakraban dengan penduduk lokal. Akrab dan diterima oleh mereka merupakan suatu yang istimewa.

Mereka bisa berebut mengajak kita untuk tinggal di rumahnya. Berkunjung ke tempat wisata tentu tidak saja menikmati pemandangan indah, tapi juga mengenal lebih jauh penduduk asli,  pandangannnya, kesehariannya, kuliner, pakaian, rumah asli, kesenian, hasil alam, dan budaya. Apalagi jika kita ingin memahami lebih dalam tentang identitas mereka, berdekatan dengan mereka bagai menjelajahi riwayat, pengetahuan, dan misteri. Meski kita tak perlu turut mengunyah atau minum apa yang disajikan. Toh, kita bisa menolak secara baik dan sopan. Mereka pun akan mengerti.

Displaying DSC_2762.JPG

Jadi saya tidak heran, para narasumber, pengisi acara, dan tamu yang hadir tidak sepakat dengan RUU Minol, pelarangan lain, diskriminasi/stigma, dan budaya yang diatur.

Perbedaan akan selalu ada dan akan terjadi berulang-ulang. Tuhan pun tidak sekali dua kali, tapi Dia berulang-ulang menciptakan manusia yang berbeda. Penduduk lokal Flores jadi tahu dan mengerti saya tidak menyantap hidangan jamu mereka. Perbedaan itu indah, dari perbedaan “identitas” bisa dikenali.

Muda, Berbuat, dan Bertanggungjawab

Minum alkohol atau tidak, itu piihan. Orang di atas usia 21 dianggap sudah bisa membuat keputusan dan pengetahuan. Terpenting kita bertanggungjawab atas apa yang diperbuat. Berkali-kali “muda, berbuat, dan bertanggungjawab” menjadi penekanan Robi dan Rudolf yang perlu anak muda dan masyarakat luas garisbawahi. Ini pun bukan berarti mereka mengajak atau menganjurkan orang untuk minum alkohol.

Beragama atau tidak beragama, itu piihan. Pakai baju muslim atau seksi itu pilihan. Mau jadi penyanyi rock atau ustadz, itu pilihan. Bersuami dengan orang kulit hitam atau putih, itu pilihan. Ingin menikah atau tidak menikah, itu pilihan.

Kata “menerima” bagi saya adalah kunci untuk harmoni dalam perbedaan. Menerima hal-hal yang tidak dapat kita ubah maupun yang dapat kita ubah dan bijak mengetahui perbedaannya, Menerima hal-hal yang tidak kita sukai. Menerima gaya bicara yang berbeda. Menerima yang mengandung pengenalan diri/luar, pengertian, dan wawasan/pengetahuan. Menerima dengan berdamai. Menerima manusia sebagai pengambil keputusan. Keputusan yang bermula dari pengetahuan dan berpikir.

Membaca Sastra

Hal ini dikaitkan oleh Arman Dhani dengan sastra. Mengapa berhubungan dengan sastra? Alasannya, dengan membaca sastra masyarakat dapat mengembangkan daya pikir, imajinasi, kemanusiaan yang membuat manusia lebih peduli, memahami nilai kehidupan, sebab-akibat, dan penderitaan.

“That is part of the beauty of all literature. You discover that your longings are universal longings, that you’re not lonely and isolated from anyone. You Belong. ” – F. Scott Fitzgerald.

Arman menyesali mengapa Indonesia tidak punya kurikulum wajib membaca karya sastra seperti negara maju Finlandia, Swedia, Amerika, dan Jepang – 40% dari kurikulum mewajibkan materi menulis, membaca, dan kesusastraan. Kurikulum di Indonesia hanya mengajarkan teknik menulis padahal anak-anak perlu belajar bagaimana membaca sastra yang benar. Kita pun menyumbang buku kepada anak-anak di pelosok perlu melihat isi dari buku-buku yang diberikan. Dan mulailah dengan memberikan bacaan sastra kepada mereka.

Melalui sastra, masyarakat dapat menghargai perbedaan-perbedaan dan menemukan solusinya agar tetap hidup rukun  satu atap. Tidak menghilangkan manusia seutuhnya. Dan tak memusnahkan Bhinneka Tunggal Ika secara perlahan maupun gesit.

Saya pun jadi kembali bertanya ke diri sendiri, masihkah Bhinneka Tunggal Ika ada di saya?

There are no nations! There is only humanity. And if we don’t come to understand that right soon, there will be no nations, because there will be no humanity.” – Isaac Asimov

3 COMMENTS