Sebelum tahun 2016 datang, foodies dan pelaku kuliner lain memprediksi makanan herbs akan menjadi tren di tahun 2016. Perkiraaan mereka tidak meleset, tapi apakah dengan mengkonsumsi herbs food termasuk dari bagian makanan sehat? Ya, tapi memakan makanan yang sehat tidak sekadar itu. Makanan sehat menjadi catatan pada perhelatan Ubud Food Festival tahun 2016. Selain itu, catatan utama Ubud Food Festival 2016 (UFF16) menekankan produk lokal sebagai bahan atau bumbu masakan yang dapat menggugah selera dan mengoyang lidah.
Produk lokal memang sedang giat diangkat oleh Pemerintah dan masyarakat untuk meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan masyarakat. Yang dimaksud produk lokal adalah yang mengacu pada suatu produk yang bahannya berasal dari dalam negeri/Indonesia, tenaga kerja lokal, menggunakan merk lokal, dan kepemilikannya dipegang oleh orang lokal. Biasanya 2 atau 3 dari poin acuan sudah bisa dikatakan produk lokal. Bicara kepemilikan, tidak sedikit warga negara asing yang memiliki usaha produk lokal di Indonesia. Di UFF16 saya pun menemukan produk minuman bir yang berbahan lokal tapi mengunakan merk bahasa asing, Stark.
Bakal panjang ceritanya bila kita membahas nama merk ataupun kepemilikan. Nama merk bisa apa saja, mengunakan bahasa asing, bahasa Indonesia, atau gabungan kedua bahasa. Bagi saya itu masalah kreativitas dan faktor strategi penjualan. Kepemilikan asing? Sayang memang bila hasil alam/produk lokal kita dimiliki oleh orang asing, karena permasalahan modal masih menjadi kendala utama di Indonesia. Dan pengusaha atau orang kaya Indonesia malah melakukan investasi di luar negeri.
Ubud Food Festival sendiri didirikan oleh seorang wanita berdarah Autralia, Janet DeNeefe. Warga asing yang jatuh cinta pada budaya, kuliner, seni, alam, dan penduduk Bali. Kecintaannya pada kuliner Bali, tidak sekadar ucapan bibir, Janet belajar memasak dan mempelajari seluk-beluk kuliner Bali sebelum ia membuka resto Casa de Luna. Saat pagelaran Ubud Food Festival 2015 dan 2016, tidak ada satu hari pun, Janet tidak mengenakan kebaya Bali.
Pakaian yang dikenakannya menunjukan identitas di mana kegiatan UFF diselenggarakan, yaitu Bali. Kemudian, mengapa Ubud? Jawabannya sederhana, karena Janet telah lama menetap di Ubud. Dan Janet menganggap Indonesia adalah negerinya.
Bali mempunyai kekayaan kuliner yang luar biasa, sedangkan Ubud merupakan salah satu kota di Bali yang banyak terdapat resto/cafe dengan beragam menu kuliner. Tidak hanya kuliner, unsur pemandangan alam, seni dan budaya begitu kuat ruh atmosfirnya di Ubud.
Organic food atau health food juga mudah dicari di Ubud. Seperti telah menjadi gaya hidup, resto menyajikan organic food dengan memerhatikan keseimbangan bahan baku yang diolah menjadi makanan yang mempunyai cita rasa. Sehat dan enak, kedua hal yang membuat pengunjung ketagihan bahkan mengaplikasikannya sebagai gaya hidup.
Organic food, herbs food, apa pun sebutannya rata-rata berasal dari tumbuhan lokal dari tanah perkebunan lokal yang dikelola oleh petani lokal. Hal ini pun mulai diikuti oleh penggiat kuliner dan pengusaha kuliner. Yaitu menggaet “Go Local” sebagai produk jual yang berkualitas.
Program UFF16 Go Local
Bahan maupun bumbu lokal tidak saja bisa disajikan pada masakan tradisional. Makanan western pun bisa mengunakan bahan-bahan dan bumbu-bumbu lokal. Hal inilah yang diangkat dan dipresentasikan kepada pengunjung bagaimana memasak mengunakan bahan alami/lokal pada jenis masakan non-tradisional atau western.
Jika kembali pada catatan kuliner Indonesia (mungkin juga dunia), di era yang justru serba digital, lidah kita kembali ke original favours, serupa dengan istilah mother language atau mother land. Malah pada era ini, masakan rumah yang bahan-bahannya diambil dari pekarangan rumah bisa disajikan di restoran secara mewah dan elegan juga dapat dibrandol harga yang mahal.
Program Kitchen Stage (demo cooking) UFF banyak menampilkan masakan modifikasi, dari appertizer, makanan utama, dessert, dan minuman. Modifikasi yang menggunakan bahan-bahan produk lokal dengan cooking style yang berbeda, namun rasanya nikmat. Program ini mengambil lokasi di restaurant Indus, berdekatan dengan Taman Kuliner di jalan raya Sanggingan.
Dilihat dari korner-korner Pasar Kuliner di Taman Kuliner juga banyak menghidangkan kuliner berbahan produk lokal, misal: Javara, coklat dari perkebunan Indonesia yang diaplikasinya menjadi selai dengan pengemasan secara menarik, roti dan makanan ringan dari Bali Buda, kopi korner yang semua kopinya asli dari Indonesia, East Bali Cashews yang kacangnya berada dari tanah Bali, es krim kunyit Gelato, The Sayan House dengan workshop membuat sushi berbahan produk lokal terbaik, dan lain-lain.
Think, Talk, Taste Sessions di hari terakhir melibatkan Ikan sebagai topik produk lokal yang saat ini sulit mendapatkan kualitas yang bagus karena demand tinggi. Permintaan yang tinggi disebabkan banyaknya kemunculan resto baru dan konsumen yang sudah tahu mana bahan makanan berkualitas. Topik ini dikupas oleh pelaku-pelaku langsung: the street food chef, peternak ikan, Youtube sensation Dutch Chef, dan Bondan Winarno.
Membahas kuliner tidak berputar bagaimana cara memasaknya saja, tapi juga bagaimana menjual dan menuliskannya di social media. Bayu Amus, Je Doble, dan Rian Farisa memberikan tips dan triks untuk ruang kuliner dalam era digital.
Tidak kalah menarik, Blue Ribbon Bali Babi Show. Atau bisa disebut ‘Perang babi’. Ternyata Bali punya babi lokal sendiri, bernama Bangkal Hitam Bali Babi yang hampir punah. Selama ini babi yang beredar di Bali belum tentu berasal dari produk lokal, melainkan produk luar. Melihat Bangkal Hitam Bali Babi, menambah pengetahuan bagi saya dan juga buat pengunjung UFF16 lainnya. Karena babi merupakan bahan makanan yang paling disukai bagi pecinta kuliner Bali.
Ini dibuktikan dengan kehadiran sebuah food truck Locavore yang menawarkan menu burger berbagai isi pilihan, salah satunya Babi. Dan food truck ini tidak pernah sepi dari pagi hingga malam.
Semua kuliner yang disajikan ke dalam ragam bentuk program, meninggalkan cita rasa di lidah dan memori. Rasa makanan yang lezat akan tersimpan di memori dengan baik. Begitu juga sebaliknya, makanan yang tidak gurih akan meninggalkan jejak ingatan. Seperti rasa masakan dan keramahan Ibu Sisca Soewitomo saat press call, 26 Mei 2016, Warwick Ibah Villa, sampai hari terakhir, 29 May 2016, Indus Restaurant.
Sejak pertama bertemu Ibu Sisca di Warwick, beliau selalu membentuk angka nol besar di tangannya saat difoto. Begitu pula ketika melihatnya dipotret oleh media lain. Ketika ditanya alasannya, ia menjawab “Ini artinya excellent. Berarti saya berfoto setelah acara selesai, acara yang excellent!” ujarnya dengan senyumannya yang khas.
Di hari ketiga UFF16, Ibu Sisca melakukan demo cooking mempergakan 5 macam makanan. Salah satunya yang tak terlupa: Bubur Sumsum Toping Udang yang mengunakan terasi. Tidak objektif rasanya bila hanya ada pendapat saya. saya pun bertanya kepada Ibu Lusi, pemilik restaurant di Surabaya, “Bagaimana rasanya?” dan jawabannya, “Enak sekali!”
Hal lainnya yang terekam mengenai, “apakah makanan sehat itu?” Ibu Sisca hanya menjawab “Makan yang tidak berlebihan”. Jawaban dari Bapak Bondan Winarno juga salah satu yang diingat memori saya. Yaitu perihal nutrisi yang berprinsip “Tumpeng gizi Seimbang” mengikuti standar internasional: 1. Cukup, 2. Seimbang dan 3. Beragam.
Untuk memasak pun kita perlu mempelajari teori selain pratik. Menurut Ibu Sisca, kita harus tahu fungsi bahan baku dan keseimbangan formula (keseimbangan bahan baku dan makanan), semua harus balance untuk mempertimbangkan nutrisi.
So, masih adakah pertanyaan tentang makanan yang sehat atau bernutrisi?
UFF 2016
Lebih ramai dari tahun sebelumnya. Acara musik diisi jenis yang lebih bervariasi. Konten makanan yang menempati Pasar Kuliner dan area Taman Kuliner lebih banyak dan bervariatif. Jika boleh saya simpulkan, pelaksanaan UFF 2016 cukup sukses.
Makanan memang suatu alat komunikasi yang digunakan untuk mempermudah segalanya sekaligus menyampaikan pesan. Sekitar lebih dari 60 chef, restaurateurs, dan culinary stars tampil dalam berbagai program: dari Babi guling sampai Balinese High Tea, raw food dining to social media food styling, piknik, sunset cocktail, spicy sambal kitchen cook –offs, yoga, film, farm visits, dan banyak lagi. Program-program ditata dengan penyajian yang cantik agar perpaduan seni budaya, wisata dan gaya hidup menyatu ke dalam serapan kuliner. Congratulations UFF 16 and the Team, kalian berhak mendapatkan penghargaan. Penghargaan dari universe.
Foto-foto laiinya Photos https://www.flickr.com/photos/ubudfoodfestival/albums
http://https://www.youtube.com/watch?v=9qI11YTOvuA
aihhh…seru banget acaranya, bangga deh dengan produk2 lokal di Indonesia
iya lagi digalkkan ini..
Produk lokal kita memang luar biasa ya
bangett
produk indonesia gk kalah sama produk luar deh pokok nya
setujuuuu
Aduhhhh enaknya itu semua tante. Aku mau juga ke Baliiii, makan – makan sama bule – bule *loh
hahahha…gelooo
saatnya produk lokal unjuk kemampuan di ajang berskala internasional ^_^
yess
Gw baru tau kalo bali punya babi sendiri yg item itu, gw pikir sama aja
gw pun baru tahu, Om
Ahh, ajak aku kak kalo acara makan-makan 😀
siapppp