Narayana dan Perempuan Bisu
Lelaki itu melompat ke sana – ke mari. Persis seekor katak.Tidak bisa diam. Selalu bergerak.Terus berpikir.Banyak bicara. Hanya kepada seorang perempuan di ujung sepetak sawah, lelaki itu mengeluarkan suara terhening.Perempuan itu bisu.Ia hanya mampu mengangguk atau menggelengkan kepalanya. Mungkin, lelaki itu senang bicara dengan sesuatu yang bisu.
Tidak ada yang tahu pasti siapa nama sebenarnya lelaki itu. Masyarakat desa Leumanjang memanggilnya, “Narayana”. Arti dari nama tersebut adalah “sesuatu yang menempati segalanya. “ Karena lelaki itu selalu berada di mana-mana – saat penduduk desa berkumpul menghitung hasil panen, saat penduduk duduk-duduk sambil merokok kretek dan minum kopi, saat penduduk menyaksikan satu bintang dan satu bulan berdiri berdampingan – dan tiap 15 menit, menemui perempuan itu, tentu melewati penduduk yang sedang beraktivitas.
Setiap Narayana berbicara dengan perempuan itu, dia tidak lupa menceritakan isi pembicaraannya kepada masyarakat desa yang ditemuinya di jalan. Entah untuk apa. Tapi, penduduk desa selalu menyukai isi cerita dari Narayana.Setelah itu, mereka merapal kalimat-kalimat Narayana dan setiba di rumah, mereka langsung menyiapkan sesajen, lalu sembayang.
Jangan lupa, Narayana mempunyai cara berjalan dengan melompat. Setiap lompatan, berganti manusia yang dijumpainya.Berganti manusia, berganti “penglihatan” dan ini merupakan kelebihan Narayana sejak terperosok ke dalam lumpur puluhan tahun yang lalu.Berpindah memandang wajah seseorang, berarti Narayana melompat semesta seseorang itu, kemudian dia ungkapkan kisah spiritual secara pelan-pelan.Lebih tepatnya, satu kisah spiritual harus dikupas tuntas bersama, kemudian dengan sendirinya kandungan spiritual itu tertanam di mereka.
~~*~~
Gemuruh petir memekak telinga perempuan bisu. Hampir saja, cangkir di genggamannya terjatuh.Ditenggadahkan kepalanya ke atas langit.Hujan belum turun.Tapi warna langit mulai gelap.Awan-awan berjalan lebih cepat dari biasanya.Terlihat mereka saling mendahului, seperti ingin segera sampai ke tempat tujuan.Pandangan perempuan bisu turun ke bumi.Tampak beberapa penduduk berjalan cepat. Tidak beda dengan awan yang juga berjalan cepat. Sedangkan dirinya, pindah memandang ke arah lelaki yang sedari tadi tekun menulis sesuatu di atas daun padi.Langkah perempuan bisu tidak cepat, malah terhenti akibat suara petir.Di tempat dia berpijak, perempuan bisu bertanya,”Jika nanti hujan turun, apakah kopi buatanku tetap penuh?”
Sebuah pertanyaan yang sebenarnya tidak mesti terlintas dan tidak perlu dijawab. Bisa juga ini sebuah pertanyaan yang menjebak lelaki itu dan diri perempuan bisu sendiri.Beberapa langkah kemudian, secangkir kopi telah sampai di hadapan lelaki itu.Dia tidak menggubrisnya.Perempuan bisu maklum. Sudah biasa! Ia duduk di sampingnya seraya menatap langit.
“Langit memang gelap, tapi tidak usah khawatir, hujan akan turun setelah kopi habis kuseduh,” lelaki itu bersuara seakan mampu membaca pikiran perempuan bisu.
Perempuan bisu terkejut mendengar ucapan lelaki itu.“Sok tahu! Lihat itu,” ucapnya dalam hati sambil ibu jari miliknya menunjuk sebuah titik di langit. Titik demi titik punturun dari langit. Melihat itu, sang lelaki dengan sigap mengambil secangkir kopi dan menarik lengan perempuan bisu untuk berlari kecil menuju saung kecil yang terletak di pinggir sawah. Dan rintik tak lagi rintik, tapi menderas sederas-derasnya.
Sesuatu yang pernah manis itu, tiba-tiba saja muncul. Berkelebat di salah satu kepala.
~~*~~
Di sore itu, senja datang diam-diam. Bocah-bocah masih bermain layangan.Muda-mudi duduk bernyanyi dan melempar canda di saung sekitar sawah itu.Narayana asyik memainkan suling di bawah pohon Beringin yang berhadapan ladang sawah.Suasana Desa Leumajang berjalan begitu tenang dan damai.
Sampai perempuan bisu melewati pohon beringin tanpa menoleh Narayana.Langit sontak terkejut.Senja jadi tak fokus berdiri.Padi berhenti bergoyang.Layang-layang putus di udara.Saung menjadi senyap. Dan Narayana hanya mampu memandang bisu sang perempuan bisu. Semua tercengang.Perempuan bisu terus berjalan tanpa sadar adanya perubahan semesta. Suasana Desa Leumajang benar-benar ‘tenang’.
Raut wajah perempuan bisu sangat murung.Tatapan matanya kosong.Ia hanya berjalan lurus. Entah ke mana arah tujuannya.Di tubuhnya terbaca kehilangan.Hampa.Harapan yang punah.Tak hidup.Sangat tak hidup.Pada saat ini perempuan bisu sedang jadi zombie.
Narayana meloncat menghampiri perempuan bisu.Dia menyapa perempuan bisu, namun sepertinya suara Narayana tak pernah muncul. Dia tetap berjalan di samping perempuan bisu, mengikuti ke mana ia akan melangkah. Meski, Narayana tidak tahu harus bagaimana.Asli, dia mati kutu.
“Sssttt..”Angin menyelinap masuk ke telinga Narayana.Konsentrasi Narayana pun terbagi dua.
“Ia bosan dengan dunia bisunya,” bisik angin.
“Maksudnya ?” Tanya Narayana dan tetap berjalan di samping perempuan bisu. “Hanya karena bosan, perempuan bisu jadi seperti itu?”Narayana menampakan garis-garis di keningnya.
Yang ditanya, sang angin, pergi tanpa pamit. Sekejap, simbol tanda tanya datang berbondong-bondong memenuhi isi kepala Narayana. “Bagaimana cara menguliknya?” Tanya Narayana dalam hati.Lalu, otaknya berputar-putar mencari sebuah gagasan cemerlang.
Narayana berusaha menghentikan langkah perempuan bisu dengan menahan tangan perempuan bisu.“Ah, mengapa selalu sulit mengucapkan namanya,” ujarnya dalam hati.“Jika aku bisa mengeja namanya dengan betul, pasti akan lebih mudah untuk mengajaknya berhenti sejenak dan bicara seluas-luasnya,” pikir Narayana.
Langkah perempuan bisu terhenti, namun pandangannya tetap lurus ke depan. Kaki kanannya kembali melangkah.Baru satu langkah, Narayana kembali menahan tangannya.Kali ini lebih keras.Narayana pun langsung memeluk tubuh mungil perempuan bisu.Beberapa saat, perempuan bisu tampak ‘membisu’ – terasa sekali tulang-tulangnyakosong melompong – bulu kuduknya pun tidak bergidik.
Perlahan, Narayana menggoyangkan tubuh perempuan bisu.Diangkatnya kedua tangan perempuan bisu, Narayana menempelkan kedua telapak tangannya ke telapak tangan perempuan bisu.Kaki Narayana bergeser sedikit ke kanan sambil membawa tubuh perempuan bisu perlahan bersama alunan music sunyi.Tubuh perempuan bisu masih kaku.Tapi, Narayana terus berusaha menggerakkan tubuh perempuan bisu dan membesarkan suara volume alunan lagu sunyi.Sehingga, detik yang berjalan tidak bersia, perempuan bisu akhirnya mengikuti gerak tarian warna-warni Narayana.
~~*~~
Ada saja yang dilakukan Narayana selama tiga tahun ini.Ini akibat masa tiga tahun sembuh dari trauma jatuh dari lumpur.Dan sebulan penuh ini, aksi Narayana melebihi kencangnya kecepatan angin topan Megi.Jika Megi berkecepatan 225 kilometer per jam, Narayana terlalu melampaui kecepatan yang hanya menempati angka 225 itu.Tak bisa diukur.Tak bisa disaingi.Tak bisa diprediksi.Begitulah, kecepatan milik Narayana.Kecepatan yang memiliki sesuatu bermakna.
Setiap hari.Setiap waktu.Setiap kesempatan.Narayana selalu ‘mengunjungi’ perempuan bisu.Ada saja problema yang dimunculkan dari Narayana teruntuk perempuan bisu.Ada saja perintah yang membuat orang-orang sekitar protes, namun perempuan bisu telah mencetuskan komitmen dan mereka menyerah.Ada saja pembicaraan berambigu dan juga abu-abu.Ada saja hal-hal yang memicu untuk membuat perempuan bisu kesal, tertawa, marah, bahkan berpikir keras.Itu memang disengaja oleh Narayana. Dia tak pernah memadamkan bara api untuk Ia. Narayana kepada perempuan bisu.
Langkah pertama, menerima bahwa bumi itu memang benar bundar.Menyerah kepada refleks semesta.Mengakui perilaku membuahkan ketidakberdayaan terhadap hukum alam. Lebih tepatnya mengakui “seseorang berasal dari ketergantungan zat.” Zat adalah benih. Akui saja benih itu!
Langkah kedua, meyakini kekuatan yang lebih besar mampu mengembalikan alam sesubur-suburnya.Karena alam mengikuti manusia waras yang berasal dari tidak waras. Ingin budaya alam menjadi indah, yakinlah, bersedialah, terbukalah, berharaplah dari aku!
Langkah ketiga, hanya satu kalimat, yaitu “Menjadi ‘hidup’ adalah keputusan.” Alihkan saja mereka beramai-ramai!
Tiga langkah singkat dibicarakan begitu panjang-panjang.Begitu luas-luas.Begitu berhari-hari.Sampai waktu berbicara dan Sang Tangan bekerja untuk perempuan bisu.
Dari sudut hati yang hadir dari sedalam-dalamnya, Narayana terpaku.Hal ini tak membuatnya jadi terdiam, dia malah mencari manipulasi dengan polesan yang menyentak-nyentak.Terpaku hanya boleh singgah sebentar saja. Bagai matahari yang selalu terbit di pagi hari, api tidak boleh padam, karena bara adalah sengatan cahaya. Cahaya yang timbul di ‘pagi hari’.
“Apakah kamu terlahir bisu?”
Perempuan bisu menggelengkan kepalanya.
“Itu, Aku sudah tahu dari orangtuamu,” ujar Narayana tersenyum.
“Bila sudah tahu, mengapa dipertanyakan lagi?”
“Aku hanya usil dan memang usil,” Narayana menjawab suara yang tak bersuara.
“Apa yang menyebabkan kamu bisu?”
Perempuan bisu mengarahkan matanya ke padi yang sedang duduk mendengarkan percakapan mereka.Padi yang tumbuh tak pernah berisik, serentak berisik menceritakan penyebab bisu.
Kedua bola mata Narayana menyalurkan binar empati.Dia mendengarkan cerita padi sampai selesai.
“Mengapa dansa menjadi obat penghibur ?”
Perempuan bisu memindahkan bola matanya ke arah dedaunan beringin.Segera dedaunan beringin melepas diri dari batang-batangnya dan berkumpul di udara menjadi satu sosok manusia.Dedaunan itu berbalik bertanya kepada Narayana, “Bukankah manusia pasti merasakan kebosanan?”
Dedaunan beringin itu berubah menjadi suatu layar peristiwa milik Narayana. “Masih ingat bagian ini, Narayana?”Narayana memejamkan matanya.Memori melesat menduduki organ pikiran dan perasaan Narayana.Layar demi layar menyentil jiwa Narayana. Dan bulir air mata menetes di pipinya. Ya, memang benar kehidupan selama tiga tahun ini begitu membosankan.Tapi inilah pilihanku.Yaitu menjalankan hari bersama bosan dengan hati yang lapang.
~~*~~
Aku sengaja membisukan aku.Kupasang tembok setinggi-tingginya dan setebal-tebalnya, agar mereka tidak bisa menembusku.Agar mulutku terkunci dan butiran-butiran udara di tubuhku tidak keluar lepas begitu saja menghampiri mereka satu per satu.Ada yang telah retak di sini.Reruntuhannya masih tersisa.Dan pasti mereka mencari tahu dengan membacaku.Itu wajar saja. Toh, aku kerap suka melihat cara mereka menembusku. Malah, terkadang aku mengikuti keinginan di kepala mereka. Jika mereka menyebutku bla bla bla… Aku memang bla bla bla.. Dan aku bosan menjadi bla bla bla!
Tapi aku tidak tahu bagaimana caranya mengeluarkan suaraku lagi, apalagi berbicara dengan gaya lincah dan memesona.
Tentu, telingaku masih berfungsi.Kulekatkan selekat-lekatnya hanya untuk mendengarkan kalimat-kalimat indah yang keluar dari bibir Narayana.
Di balik kebisuanku, ada suatu ruang yang merambat terang, menghidupkan suatu lampu. Ini adalah ulah si Narayana!Dia yang tak pernah padam.Selalu saja menyala-nyala.
Bisu, namun aku mulai sedikit bahagia. Masih sedikit. Tapi , terus sajalah aku berjalan! Karena sedikit demi sedikit, akan bertambah banyak.