Ayah terlentang di tempat tidurnya. Menatap ke atas ruang kamar. Berbicara dengan satu lampu yang berada tepat di atas kepalanya, “Hi, lampu, di mana kau sembunyikan surga milikku?”
~*~
Langit Bandung bernyanyi memeriahkan suasana. Tak ubahnya, atmosfir di Gedung pertunjukan ini, semua orang yang hadir memunculkan senyum kebahagiaan masing-masing. Gadis berusia 8 tahun itu menundukkan kepalanya – mengakhiri penampilannya – mengucapkan terima kasih kepada semua penonton. Dia membalikkan tubuh mungilnya. Dia berlari kecil – kepang duanya bergoyang ikuti gerak tubuhnya menuju balik panggung. Ayah segera mengendong gadis kecilnya itu. Di sambut pula pelatih, keluarga dan teman-teman gadis itu. Mereka memberikan kecupan merah muda ke wajah gadis itu.
Hari itu, anak gadis itu terlihat bahagia. Betapa tidak, dia telah berhasil memukau perhatian penonton dan semua orang yang hadir di sana oleh penampilan cemerlangnya. Ups, kalian sudah lihat penampilannya? Begini kisahnya…
Tuts-tuts piano telah wangi dan siap berjalan-jalan. Sepuluh jari mulai menyentuh piano Grand berwarna putih. Mereka saling memesona dan akhirnya, jatuh cinta kilat. Tangga-tangga nada menyentak. Satu per satu not pergi melayang. Jari-jari mungil itu mengajak mereka berdansa. Sebelumnya, tak lupa dia meniupkan nafas belianya. Seluruh ruang terhipnotis.
Penonton tertegun. Sinar lampu menjulang-julang. Ketukan intonansi bergelombang gerilya. Gadis itu setengah berdiri. Bak kesurupan, dia mainkan bahasa tubuh ikuti dentingan irama. Malam itu adalah miliknya. Dia ganyang semuanya tak tertahankan. Penonton berdiri. Bertepuk tangan meriah. Seorang pria bermata sipit menyuarakan namanya. Piala diserahkan ke gadis itu. Jadilah dia sang pemenang . Untuk penampilan paling memesona sepanjang masa.
~*~
Minuk sangat mencintai seni. Segala sesuatu mengenai seni adalah keelokan. Keindahan yang tak bisa diganti oleh apa pun. Entah itu bermusik atau menari. Dan Minuk tak segan-segan memukau mereka tuk menikmati Minuk seutuhnya. Minuk dan segala gerak tarian dan musiknya. Orang-orang bilang, jika Minuk sudah berada di atas panggung, Minuk menjadi “gila” dan para penontonnya pun jadi terbawa “gila” menyaksikan Minuk.
Di masa remaja, Minuk melimpahkan jiwanya hanya buat seni, seni dan seni. Latihan demi latihan membuat Minuk berjalan lebih cepat daripada para penari lainnya. Minuk sedikit pun tak mau kalah selangkah dari mereka. Dari tari tradisional sampai tari modern. Dari pelatih satu ke pelatih terkenal lainnya. Dari kota ke kota. Dari negeri satu ke negeri lainnya di belahan bumi ini. Siapa tak mengenal diri Minuk, seorang penari muda sekaligus pianis dengan berbagai talenta dan kemenangan-kemenangan yang tak terhitung lagi. Nama Minuk membumbung tinggi tanpa Minuk sadari. Ya, Minuk tak pernah mengira Minuk akan menjadi seorang penari ternama bertaraf internasional di usia muda. Minuk kenyam semua itu di saat Minuk masih berusia 17 tahun.
Sepuluh tahun Minuk melintang di dunia ini. Berada di atas puncak di usia remaja, itu seperti hidup dalam mimpi. Hampir semua orang di belahan dunia ini mengenal Minuk. Hidup bagai tanpa cacat. Sangat sempurna! Apa yang Minuk inginkan, Minuk bisa dapat. Apalagi, dengan uang semuanya begitu terasa mudah dan menjanjikan. Yang terpenting: Minuk senang. Itu saja. Tanpa sengaja, tanpa adegan yang diatur Minuk bertemu “Ungu” – dikenalkan seorang kawan, penari juga. Ia sungguh memikat Minuk. Setiap pertemuan-pertemuan dengannya membuat Minuk tak sadarkan diri. Minuk pun jatuh cinta pada ungu dan juga kawannya itu.
Bersamanya, Minuk bak melalang tinggi ke langit. Kini, giliran Minuk yang merasakan terbuai. Ia mampu membius seluruh tubuh. Minuk terlena. Dan Minuk tak bisa hidup tanpanya walau sehari saja. Minuk bagaikan hidup di dunia yang berbunga-bunga. Harum tubuhnya mampu membuat Minuk menggeliat. Bersamanya, hidup kian damai dan bahagia. Ungu tak pernah membuat Minuk jengkel, sedih, gusar, ketakutan, khawatir dan ‘teman-temannya’ itu. Ungu adalah masa terbaik. Ungu merupakan masa indah dikala muda adalah segalanya.
Muda adalah kenikmatan. Tanpa adanya tuntutan sana-sini. Tanpa harus prima ketika naik panggung. Tanpa muncul kelelahan. Tanpa harus terus tersenyum di depan khalayak. Muda adalah apa yang Minuk inginkan dari jauh dalam lubuk hatinya. Muda adalah segalanya. Dan setelah beberapa lama, Minuk mulai lupa pernah jatuh hati dengan kawannya itu.
~*~
Minuk hirup berpuluh-puluh kali. Minuk masih tak merasakan apa pun. Sialan! “Dasar penipu!” Minuk mengutuk. Kesal tapi apa boleh buat, mau tak mau Minuk terima juga. Ya, setidaknya tidak membuat badannya sakit. Tapi ini edan. Seminggu lamanya Minuk tidak berasa sama sekali. Minuk yang salah. Atau Ungu yang salah. Minuk berkeluh kesah kepada Tere. Dia mengganguk mengerti keadaannya. Lalu, dia menatap Minuk serius. “Kamu tahu apa yang kulakukan bila kondisi sudah seperti itu?” Tentu saja Minuk tidak tahu. “Boleh aku minta segelas air putih?” Ya, bolehlah. Hanya segelas air putih, mengapa harus tidak boleh??
~*~
“She can’t perform right now. She is sick,”
“Sick? She ate wrong food or what?” rekan Greg bertanya.
“Just look at her. I can’t say anything about her,”
“Hem, but She has to perform in five minutes,”
“It’s imposibble!”
Greg, sebagai coordinator event organizer pariwisata Internasional, pusing tujuh keliling. Ini pertunjukkan untuk mempromosi wisata Indonesia. Semestinya, Minuk dalam stamina yang prima. Greg hampir putus asa, karena penampilan Minuk berada di puncak acara dan telah ditunggu-tunggu orang banyak.
Tak lama, Tere datang mencari Minuk. “She’s in her room,” ucap Greg. Tere segera melangkah. Tanpa mengetuk pintu, Tere masuk dan menghampiri Minuk yang pucat, dingin, dan tubuhnya melingkar-lingkar – menahan sakit. Tere segera mempersiapkan sesuatunya. Dia menaikkan rok panjang Minuk. Melingkari paha Minuk dengan “bayangan” beserta musik “Ungu”. Pertunjukkan dimajukan 10 menit. Akhirnya, Minuk berada di balik panggung. Wajahnya segar sekali, tidak seperti beberapa menit lalu. Dia terlihat cantik dan siap memikat seluruh isi ruangan pertunjukkan tari malam itu.
~*~
Perjalanan New York – Jakarta cukup melelahkan Minuk. Minuk ingin sekali segera terlelap di kasur empuknya. Sementara itu, Tere tidak bersama Minuk – sibuk mencari Ungu. Minuk gusar. Tak bisa diam. Berjalan bolak-balik. Sebentar-bentar melirik jam dinding di kamarnya. Sebentar-sebantar menghubungi Tere melalu handphone-nya. Sebentar-bentar mengetuk meja. Ah, lama sekali rasanya “perjumpaan” itu tiba.
Satu jam kemudian, Tere datang dengan wajah penuh senyuman. Minuk membuang nafas panjang. “Mana dia?” Tanya Minuk terburu-buru. “Sabar, dear,” ucap Tere seraya menghadirkan ‘kekasih’ Minuk. Minuk segera memeluk kekasihnya, Ungu. Sang “bayangan” telah menyentuh tubuh Minuk. Tidak sampai lima belas menit, bayangan dan Ungu berbaur gemilang sampai di puncak. Ya, sel-sel darah bergerak cepat , menjelajahi tubuh Minuk. Lembut sekali perjalanannya. Gelombang-gelombang itu secara teratur memenuhi ruang otak, kemudian ke seluruh badan. ‘Kecupan-kecupan’ Ungu menggetarkan Minuk. Membuat Minuk membisu bagai gadis yang pasrah dicumbu ‘seluruh’ oleh kekasihnya. Mereka menyatu di alam penuh keluasaan. Tubuh Minuk terhempas di ranjang. Dia terpejam. Pulas.
~*~
Ayah mengetuk pintu kamar Minuk berkali-kali. Namun tak ada jawaban. Pintu pun terkunci rapat. Ayah mendobrak pintu itu. Dan dia pun gelagapan. Tubuh Minuk kejang-kejang. Busa putih keluar dari mulutnya. Tanpa pikir lama, Ayah mengendong buah hatinya. Minuk. Dengan tergesa-gesa, Ayah tidurkan Minuk di kursi belakang mobil. Ayah tancapkan gas kencang menuju rumah sakit.
~*~
Pandangan mataku kabur. Entah itu abu-abu atau putih. Malah terkadang hitam. Jantungku berdetak cepat. Aku menangis. Ya, menangis sejadi-jadinya. Jangan Tuhan. Jangan sekarang Kau ambil Minuk. Aku bisa mati tanpa dia. Tangisanku semakin kuat. Terdengar di udara ruang emergency. Semestinya tadi aku menjemput Minuk di Airport. Semestinya aku sudah mengusir Tere dari sejak lama. Mengapa aku diamkan masalah ini berlarut-larut. Ah, Ayah macam apa aku ini! Ayah yang tolol! Selalu saja terlambat dan tak berani mengambil tindakan. Tuhan, maafkan aku. Aku amat menyesal. Seharusnya aku temani terus ke mana Minuk pergi. Aku tahu dia juga salah, tapi maafkan dia, Tuhan. Aku mohon, Tuhan.
Ah, aku sesak. Ruangan ini seolah tertutup tanpa udara. Langkahku terhenti. Tapi ruangan ini tak berhenti mengusikku, malah berputar-putar di atas kepala dan menekan dadaku. Aku menunduk, mencari sesuatu yang bisa menahan kestabilan tubuhku. Tuhan, jantungku, Tuhan. Mengapa bergerak tak beraturan. Dan aku pun tergelepar di lantai. Ruangan menjadi gelap. Tak bernyawa. Aku tak berudara! Aku berhenti, Kawan!
~*~
Dua tahun kemudian.
Karenanya, Ayah pergi sebelum dia memohon maaf pada sang ayah. Dua tahun berusaha menjauhkan diri dari Ungu, barang laknat itu. Dia kini bersih. Putih kembali.
“ Aku masih rindu “ Si Ungu” itu. Hari ini adalah hari pertamaku menari kembali . Bolehkah aku mencicipinya sedikit saja, sebagai akhir pertemuanku dengannya dan untuk menyambut awal dari kebangkitanku”.
“Ya Aku hisap, lalu memompakannya untuk terakhir kalinya. Aku tak mungkin terjerat lagi. Jangan khawatir!”
Di panggung pentas Kesenian Jakarta.
Penuh kilauan cahaya lampu menyoroti diriku. Dentingan suara piano pun terdengar lembut. Aku menggemulaikan tangan pelan. Kaki kanan Aku geserkan ke samping perlahan. Aku tundukan kepala pejamkan mata. Dawai gitar pun menyambar keheningan itu. Kembali penonton bertepuk tangan. Mataku refleks terbuka. Aku menatap jauh ke depan. Suara senar gitar itu menghentakku. Aku goyangkan tubuh memesona. Aku gesitkan kaki-kakiku melangkah. Bagai kesurupan Aku membius dansa. Musik semakin kencang di gendang telinga. Semakin Aku menggeliat dalam alur cepat. Semakin berdecak penonton kagum kreasiku. Semakin Aku goyangkan tarianku. Semakin Aku goncangkan panggung,
Lalu..lalu.. Rabunku hadir kembali. Aku jatuh terkulai perlahan. Tak mampu kuhempaskan kemabukkan ini. Aku tak tahan menahan tuk berdiri. dan keseluruhanku di panggung tadi adalah Aku yang tak berdaya dalam “tidur”.
Aku …Kembali hitam…kembali putih…kembali hitam..putih… Inilah tarian awal dari terlelapnya Aku tertidur. Dan inilah Aku mendengar sorak penonton terakhir. Inilah tarian terakhirku. Aku mati, kawan..!!!
~*~
Di pintu surga.
Sang ayah kembali bermuram durja.
“Mengapa, kaulakukan lagi, Minuk?” Ah, padahal minggu kemarin baru saja aku mengenggam surga. Sekarang, surga itu pergi lagi Memang sulit mengapai surga itu. Ah..
Ayah bersama sebuah lampu keluar dari pintu surga. Di depan pintu, sebuah lampu berucap, “Maafkan Minuk, Ayah. Minuk tidak bisa menjadi lampu buat Ayah.”
** Terinsprasi dari secuil kisah nyata yang dibongkar menjadi fiksi. Banyak terjadi, anak muda yang memiliki berbagai talenta, terjerumus narkoba. Mereka ada yang lebih dulu pergi meninggalkan kita akibat narkoba. Mereka juga ada yang telah berhasil pulih dan menjadi sukses di bidangnya. Mereka ada juga yang masih berjuang melawan kecanduannya terhadap narkoba.
Saya hanya mengatakan, “Jangan mati sia-sia, Kawans! Ada banyak tangan yang selalu terbuka, dan siap tuk menggandeng tangan serta memeluk tubuh kalian.”
** Judul tulisan ini banyak dipakai oleh saya dengan tema yang sama, tapi dalam bentuk yang berbeda (puisi, naskah, cerber, cerpen)