Sebelum November usai, kuingin meniduri puisi ini
Seperti dalam reka ulang sastra jendra
Ketika aku datang sebagai udara dan melakoni Batara
Sementara kau adalah Sukesi yang terbujur di belantara
Lalu kusentuh keningmu dengan getar
Bibirku karena sepanjang garis langit
Aku teteskan igauan giris
Seorang pengemis mengiba kasihmu
Malam menutup mata
Di sana kita seperti ikan koki di aquarium
Dan bulan retak
Beserta isinya yang telanjang
Lalu hujan turun deras sekali
Menandai interval melodrama
Di mana epilognya harus ku potong
Dan waktuku pulang sebagai cahaya
Dan kau pun terjaga
Di dini hari yang keruh dan anyir
Hujan punah menampakkan poster iklan
Spotlight, bebintang dan lanskap malam
Bikin kota. Tak ada lagi belantara, atau surga
Asyiknya rame-rame. Angin menyela
Semilir menggoyang rambutmu yang gelombang
Entah aroma apa yang kau helai
Di nafasmu: serbuk tembaga
Atau karbonmonooksida
Di bawah sana kota tawarkan
Berlembar kemungkinan
Jalanan penuh simpang tentu
Dan kau sendiri
…
Lalu tiba-tiba kau menyadari dirimu sedang duduk di shelter yang hanya berisi dua bangku. Kau duduk di bangku pertama sambil menunggu bus yang kan mengantarmu menuju kehampaan. Dan kau merasa pernah di sini. Ya, di shelter ini. Dan aku tahu matamu melirik-lirik, namun bus membawamu pergi. Meninggalkan sepotong rindu di bangku kedua, sepotong lagi di belantara?
Lalu sepanjang jalan pikiranmu masih melirik.
Semakin jauh kau melaju, semakin rindu itu mewujud dendam.
“Ia harus dilunasi, ia harus dilunasi, ini harus dilunasi!” desismu berkali-kali.
Tapi saat kau hendak menoleh ke belakang, bus yang mengantarmu sudah tiba di depan rumahmu. Sangat cepat. Waktu melesat begitu cepat mengubah segalanya jadi renta. Dan ketika kau merebahkan tubuhmu di kursi panjang tua, dengan rambut terurai ke belakang, tiba-tiba kau mendengar suara pintu diketuk: Tok! Tok! Tok! Dan secara tak sadar kau pun berucap, “Masuk sajalah, aku telah lama menunggumu, bahkan sebelum langit mencipta rindu dari batu.”
Tapi saat pintu terbuka, tak ada siapa-siapa di pintumu itu.
Bahkan dirimu juga tak ada.
Sebelum November usai, aku ingin puisi ini melahirkanmu kembali
Sebelum puisi ini usai, aku ingin November melahirkanmu kembali
–Puisi ini ditulis oleh Seorang Sahabat, Haz Algebra–