Tahukah rempah andaliman hanya tumbuh di Tanah Batak, salah satunya di Toba Caldera Geopark
Sejak tahun 2016 Danau Toba telah menjadi salah satu dari 10 Destinasi Wisata Prioritas Indonesia, lalu tahun 2018 meningkat jadi Super Prioritas. Pada tahun yang sama Indonesia mendaftarkan Toba Caldera Geopark masuk dalam Unesco Global Geopark. Danau Toba memiliki keragaman geologi, hayati, dan budaya, yang kini dikembangkan secara berkelanjutan. Salah satu biodeversity yang kian seksi adalah Rempah tuba atau Andaliman dan berasal dari letusan vulkanik Kaldera Toba.
Orang suku Batak yang tinggal di Simalungun, Karo, dan Dairi menyebutnya “Rempah Tuba” dan masyarakat Toba memanggilnya “Andaliman”. Cina, Jepang, Tibet, Korea, India, bahkan Amerika dan Eropa menyebut andaliman dengan berbagai sebutan, yang populer ialah Szechuan pepper. Zanthoxylium acanthopodium DC (nama latin andaliman) mempunyai keunikan rasa pedas yang tak bisa dibandingkan dan mengeluarkan aroma spesiifik, seperti lemon yang segar. Andaliman berasal dari Indonesia dan hanya tumbuh di Tanah Batak.
Nusantara yang dulu dikenal dengan “Negeri di Bawah Angin” telah kedatangan pedagang-pedagang asing sejak abad ke-1, Pangeran dari India datang membawa lada ke Banten Lama (Teluk Lada) pada 1 M; kemudian Tiongkok datang pada tahun 414; Alfonso de Albuquerqe (asal Portugis) mendarat di Melaka pada abad ke-16 (tahun 1509), kemudian menuju Maluku tahun 1511; sedangkan Belanda sampai ke Nusantara pada tahun 1596 dan mendirikan VOC pada tanggal 20 Maret 1602 (abad ke-17).
Kekayaan rempah Nusantara yang paling diincar bangsa Eropa pada masa itu, yakni cengkih, lada, dan pala. Mungkin saja andaliman (dianggap sama dengan lada) digemari VOC, sebab ia tidak saja memberikan sensasi di lidah, tapi juga bermanfaat untuk aromatik, kesehatan (termasuk sebagai bahan obat-obatan), pengawet makanan, dan kosmetik. Tiongkok, India, Korea, dan negara lain sering menggunakan andaliman sebagai bumbu masakan, tonik, aroma terapi, dan dekorasi. Tidak menutup kemungkinan mereka memakai andaliman sebagai penyembuh penyakit maupun kecantikan. Namun, sementara ini saya belum menemukan penelitian penggunaan andaliman oleh negara-negara tersebut selain sebagai bahan masakan sebelum abad ke-17.
Jika membaca Wikipedia, fitokimia Zanthoxylium yang berada di Afrika, Amerika, India, Jepang, dan Nepal memiliki senyawa aromatik berbeda. Berarti juga memiliki fisik yang berbeda sesuai dengan keadaan geografis masing-masing negara. Andaliman memang hanya tumbuh di daerah Sumatera Utara, tetapi Zanthoxylium tidak hanya punya satu anak – terbukti tumbuh selain di Indonesia – nama famili mereka adalah Rutaceae. Menariknya andaliman tidak tumbuh di daerah-daerah selain Sumatera Utara. Pun di Sumatera Utara, andaliman ada yang beraroma tajam dan ada yang tidak.
Si Seksi Andaliman hidup di daerah sejuk dengan ketinggian di atas 1,400 mdpl (Toba: ketinggian 1,500 mdpl), dan 2,900 mdpl di Tiongkok. Bertubuh kecil, bulat, berwarna kulit hijau, dan tinggi pohonnya bisa mencapai 5 meter. Andaliman tidak bisa hidup sendiri, ia butuh ‘oksigen’ di antara pepohonan lain, seperti mangga, alpukat, pohon beringin dan lain-lain. Tubuhnya mengandung minyak atsiri – semakin kekurangan air, senyawa metabolit sekunder makin meningkat. Banyaknya kandungan yang ditemukan, minyak atsiri juga berkhasiat untuk perawatan kulit dan mengobati kanker. Selain itu dapat mencegah pertumbuhan serangga Sitophilus zeamais, serta mengusir musang, tupai, dan kelalawar yang sering memakan buah kopi.
Marandus Sirait, Pengagas Taman Eden 100
Sebelum fokus menanam andaliman, para pekebun dari Taman Eden 100 memiliki lahan kopi. Sehingga pengalaman Marandus Sirait, pemilik Taman Eden 100, dan pekebun lain memanfaatkan andaliman sebagai penjaga tanaman kopi, tanpa perlu membunuh. Rumput-rumput pun tidak perlu ditebas hingga terlihat area hutan Taman Eden penuh hijau.
Taman Eden 100 seluas 55 hektar terletak di Desa Sionggang Utara, yang tidak jauh dari Danau Toba, merupakan warisan dari ayah Marandus Sirait. Tahun 1999, Marandus mulai menjalankan amanah sang ayah. Tanpa diduga, ia menerima Kalpataru Lingkungan Hidup dari presiden pada tahun 2006. Marandus berhasil menata pepohonan ara, anturmangan, alpukat, labu madu, dan beringin di tepian Danau Toba—pohon-pohon yang ditanam tertera nama pemiliknya dari berbagai kota dan instansi—pengunjung pun bisa menaruh namanya asalkan mau mengeluarkan uang sebesar Rp.200,000,- untuk pemeliharaan pohon.
Dua tahun lalu, Marandus mulai melakukan pembibitan andaliman—setelah melihat potensi yang besar. Ia mengajak penduduk desa dan UKM untuk turut serta mengembangkan rempah ini. Ibu-ibu di desa yang memproduksi keripik pisang dianjurkan membuat keripik andaliman. Lalu mereka terus-menerus uji coba resep sampai mendapatkan komposisi yang pas. Saat ini produk andaliman yang dihasilkan mereka tidak hanya keripik andaliman, melainkan sambal andaliman (dalam stoples kecil), sasagon andaliman, kacang telur andaliman, sambal bubuk andaliman, dan bandrek andaliman. Bahkan Marandus sedang memproduksi sabun dan Dr. Wan Hidayati, MSi bersama tim berencana membuat kosmetik dari andaliman.
Karena andaliman, perekonomian desa-desa sekitar Danau Toba bergelora. Pemberian bibit kepada petani, pembinaan produk dan produksi, pelatihan higienis, dan pelatihan alam adalah program tetap yang diberikan Marandus Sirait kepada petani-petani andaliman. Sekarang ini, Marandus Sirait sedang mencari donatur untuk menghalalkan produk dan memiliki dapur tersendiri.
“Andaliman telah meningkatkan perekonomian masyarakat. Saya bersyukur andaliman tidak bisa hidup di daerah lain di Indonesia selain di Tanah Batak,” ucap Marandus sambil tergelak.
Selain meningkatkan pendapatan masyarakat, andaliman juga menjaga lingkungan hidup, pemberdayaan perempuan, dan inklusivitas.
Namun kurang lengkap jika hanya membicarakan andaliman yang berada di hutan dan desa tanpa menikmati aneka hidangan Rempah tuba.
Si Seksi Andaliman dalam Berbagai Menu
“Makanan yang lezat bisa bikin bahagia.” Setuju, ‘kan?
Saat itu, hari Sabtu, 6 April 2019, Almond Zucchini, Kebayoran Baru, saya serasa membaca karya sastra yang apik. Suatu karya yang membuka wawasan dan pikiran yang bisa membuat saya terus tersenyum. “Andaliman, Citarasa Danau Toba”, tema acara yang digelar oleh Yayasan DR. Sjahrir menghidangkan Geopark Danau Toba, Andaliman dan Ekonomi Kreatif, Perubahan Iklim, dan Demo Masak bersama Rahung Nasution.
Dr. Amanda Katili (Omar Niode Foundation) bercerita tentang acara UNFCCC, 2018, Poland dan The World Economic Forum 2019, Switzerland. Setiap negara peserta kedua acara itu menyajikan makanan khas mereka. Menariknya pavilion Indonesia lebih ramai dikunjungi peserta dibandingkan pavilion Jepang. Spaghetti aglo olio andaliman, nasi goreng andaliman, sambal andaliman, dan menu lain habis dilahap para peserta. Bercita-cita “menduniakan andaliman” ternyata bukan hanya isapan jempol belaka. Andaliman tidak mengenal warna kulit, sudah terasa lidah-lidah yang bakal ‘mengelinjang’ di mana-mana.
Dr. Wan Hidayati, MSi (Dinas Pariwisata & Kebudayaan Provinsi Sumatera Utara) menjelaskan mengenai geologi sejarah kaldera Toba. Erupsi pertama kali terjadi 800.000 tahun lalu di area Porsea, selatan Danau Toba. Untuk erupsi selanjutnya dan apa saja yang ada di Geopark Danau Toba saya akan tulis pada artikel yang berbeda. Dr. Wan Hidayati, MSi sempat menyinggung tentang buku berisi 336 masakan andaliman yang bikin saya penasaran. Beliau juga bilang akan membuat parfum dari andaliman.
Ir. Murni Titi Resdiana, MBA (Kantor Utusan Presiden Bidang Perubahan Iklim) mengambarkan pembangunan berlanjutan, pengurangan emisi sektor (rehabilitasi hutan dan penanaman tanaman perkebunan), dan pengembangan produk unggulan desa: andaliman. Sama seperti geopark, bagian ini akan ada pada tulisan selanjutnya.
Rahung Nasution, chef asal Sumatera Utara inilah yang pertama kali memperkenalkan cita rasa andaliman pada lidah saya di Bali. Ingatan rasa andaliman di memori saya begitu kuat. Mendengar andaliman saja bisa membuat saya langsung terbangun dari tempat tidur. Saya tidak pernah bosan, malah bisa makan berkali-kali walaupun hanya dengan sambal andaliman.
Ikan arsik, ayam napinadar, dan ikan naniura pernah tertangkap oleh sensor rasa saya, tapi roti jala andaliman, sate lilit andaliman, anyang andaliman, spaghetti andaliman, rempeyek andaliman, kue kering coklat berbahan andaliman, dan minuman dingin sehat bercampur andaliman, belum pernah saya rasakan. Semua menu itu tidak perlu diragukan lagi kelezatannya. Andaliman bahkan melengkapi cita rasa makanan khas tersebut.
Cerita Marandus Sirait, para narasumber, dan masakan Rahung Nasution menjadi sebuah pengalaman seksi penuh ‘sastra’. Ibarat berjumpa pria yang di tubuhnya mengeluarkan kecerdasan. Andaliman memang kecerdasan lokal yang wajib dinikmati masyarakat di seluruh provinsi Indonesia.
“Taman Eden 100 siap menyuplai penduduk di seluruh Indonesia,” tegas Marandus Sirait.
Sumber: Asbur,Y. Khairunnisyah. (2018). Jurnal Kultivasi Pemanfaat Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium DC) Sebagai Tanaman Penghasil Minyak Atsiri. Universitas Padjajaran.
Untuk membaca tulisan Andaliman yang lain silahkan cek Situs Rempah Andaliman