Setiap pengalaman pasti meninggalkan ingatan. Rute perjalanan yang dilakukan lebih dari sekali belum tentu memberikan pengalaman dan ingatan yang sama seperti sebelumnya. Seperti perjalanan ke Cirebon tahun lalu. Destinasi wisata Cirebon atau pengalaman bersama teman perjalanan yang lebih menarik?
Entah mengapa kota Cirebon menjadi destinasi pertama yang ingin saya telusuri berkaitan dengan rempah-rempah Nusantara – dari banyaknya kota-kota yang memiliki bandar pelabuhan masa lalu. Awal niat ingin melakukan riset kecil-kecilan sendiri saja. Setelah adik, Ibu, dan tante mendengar rencana saya, mereka langsung minta ikut. Malah adik saya menambah destinasi Semarang dalam perjalanan ini. Semarang ada Klenteng Tay Kak Sie yang pada tahun 1770-an mempunyai kaitan dengan pedagang-pedagang Tionghoa. Gudang penyimpanan barang mereka tidak jauh dari klenteng. Jelas masih ada hubungan dengan proyek penasaran saya.
Adik saya punya tujuan berfoto mengenakan baju bola dengan latar belakang nuansa Nusantara. Sedangkan tante dan Ibu saya ingin icip-icip kuliner kedua kota itu sambil menikmati kebersamaan. Tujuan mereka jelas masih berkaitan dengan niat saya.
Rekomendasi makanan lezat dan tempat wisata yang instagramable sudah di tangan kami. Yang diperoleh dari artikel-artikel rekomendasi situs media online – dengan nama besar dan pembaca lebih dari 1 juta viewer.
Kuliner dan Tempat Wisata
Namun dari bubur ayam, docang, mie koclok, empal gentong sampai nasi lengko, tidak satu pun terasa lezat di lidah. Jangan percaya artikel rekomendasi yang di-posting berbagai situs media online maupun instagram! Makanan memang soal selera, mungkin begitu juga dengan tempat wisata. Visual yang bagus atau judul menarik memang pemikat, tapi ‘euforia’ tersebut tidak cukup memuaskan saya dan keluarga.
Di Pasar Kanoman, Cirebon, kami malah tak sengaja menemukan makanan yang dibungkus daun pisang, serupa pepes, dan berisi udang dengan kontur lembut. Rasa makanan yang saya tidak tahu namanya itu, membuat kami menyesal hanya membeli 10 bungkus.
Di Keraton Kasepuhan Cirebon secara tak terduga, Sultan Sepuh XIV Pangeran Raja Adipati Arief Natadiningrat ingin bertemu saya dan keluarga. Beliau bercerita panjang mengenai Sunan Gunung Jati dan berbicara sedikit tentang pelabuhan yang kini hanyalah sebuah kali panjang di tengah kota. Yang mengejutkan ternyata tante saya menyukai sejarah dan adik saya banyak bertanya barang-barang yang dipajang di ruang penerima tamu dan ruangan keraton. Sampai pada akhir pertemuan, Sultan Sepuh XIV menunjukan bagian-bagian ruang pada adik saya, “Itu kamar saya, sebelah sana kamar anak saya.”
Sebelum menuju Keraton Kasepuhan Cirebon, kami mengunjungi Gua Sunyaragi dan meminta pemandu setempat untuk bercerita. Tapi adik saya malah sibuk minta difoto di berbagai spot Gua Sunyaragi. Konsentrasi saya pun buyar untuk mendengarkan cerita Si Pemandu. Tante dan Ibu saya hanya melihat-lihat sebentar, “Gila panas banget, nggak kuat ah,” begitu alasan mereka, saya memakluminya.
Keingian menyelusuri rempah lebih jauh, terpaksa harus disimpan terlebih dahulu.
Perjalanan kedua ke Cirebon hanya beda 1 bulan. Awalnya hanya saya dan Salman. Dia menyarankan untuk jalan-jalan ala backpacker – memesan tiket kereta pun, kami memilih harga yang paling murah: Rp50.000. Meski saya berusaha agar naik kereta yang lebih bagus, Salman tetap bilang sayang uangnya. Satu hari sebelum pergi, tiba-tiba keempat teman kami ingin bergabung, jadilah kami berenam pergi ke Cirebon naik mobil. Uang kereta terpaksa hangus, tapi limapuluh ribu itu tidak berarti dibandingkan nilai perjalanan bersama teman-teman yang memiliki karakter dan cerita pengalaman berbeda.
Tujuan saya tetap mencari tahu tentang rempah dan kebudayaan. Tujuan mereka mencicipi kuliner dan mencari tempat wisata asyik. Lalu, mereka mencari rekomendasi artikel dan saya ceritakan pengalaman sebelumnya. Karena ingin tahu kuliner khas Cirebon, jadilah kami setiap makan harus makan kuliner khas. Untuk urusan tempatnya, kami menggunakan “feeling”. Nasi lengko kami temukan di warteg yang berjarak sekitar 200 meter sebelum Gua Sunyaragi. Dan rasanya tidak mengecewakan.
Mie koclok. Salah satu dari kami ternyata pernah ke Cirebon dan kangen sekali makan mie koclok di tempat makan yang pernah dia coba sebelumnya. Dia bertanya pada saya, apakah mie koclok yang pernah saya coba itu enak? Saya langsung jawab, “Kalau mie koclok elu itu sampai bikin kangen, berarti kita semua harus mencicipinya.”
Dia benar, mie koclok Panjunan bikin jatuh hati yang mengakibatkan kerinduan yang perlu dilunasi! Buka hanya pada malam hari dan tempatnya tidak besar, tapi rasa nikmatnya bikin bahagia. Santan yang kental merupakan ciri khas mie koclok, walaupun kental tapi lembut dan gurih. Kombinasi bubur beras, suwiran daging ayam, irisan telur, mie kuning, dan kol menjadi komposisi rasa yang tidak berlebihan, tidak bikin enek, dan meninggalkan jejak pengalaman yang manis di memori.
Pada suatu malam lain, kami masih lapar dan masih ingin jalan-jalan tapi nggak tahu mau ke mana. Akhirnya, kami memutuskan untuk jalan-jalan kaki dan menemukan nasi jamblang di pinggir jalan yang rasanya luar biasa dan tidak ada di artikel online maupun Instagram. Berbeda dengan docang, bubur ayam, soto, dan empal gentong, kami tidak beruntung! Karena berturut-turut (setelah mie koclok dan nasi jamblang) merasakan makanan yang tidak sedap, lidah kami jadi ingin hanya makan makanan yang familiar di lidah dan perut. Nasi goreng di pinggir jalan bukan pilihan, tapi kami tidak protes, enak atau tidak bukan lagi menjadi tujuan.
Urusan tempat wisata, ada 2 tempat wisata yang kami kunjungi dalam satu hari. Pertama pada pagi hari, dapur Keraton Kasepuhan Cirebon yang saat itu sedang memasak untuk acara Panjang Jimat, Maulud Nabi.
Kedua sebelum tengah hari, kami ke Gua Sunyaragi yang ketika itu panasnya luar biasa. Namun, terik matahari yang ganas tidak mengurungkan niat teman-teman untuk berfoto-foto. Bahkan saya membawa 2 kamera bersama model Salman yang perfeksionis.
Pada sore hari, kami ke Keraton Kanoman yang dipenuhi keluarga keraton, para abdi, media, dan warga Cirebon. Prosesi Panjang Jimat di kedua keraton memang suatu hal baru bagi kami. Sayangnya kami tidak mendapatkan wawasan pemahaman dari prosesi tersebut. Begitu pula di Keraton Kasepuhan Cirebon pada malam hari. Prosesi yang panjang dan panasnya cuaca membuat kami kelelahan dan menyendiri dengan pikiran masing-masing.
Saya pun tidak berhasil menambah pengetahuan rempah, namun saya berkesimpulan untuk tidak “terikat” pada manusia saja, tapi juga pada tujuan. Sebab ‘perjalanan’ itu lebih indah daripada tujuan.
Ketika hanya ada saya dan Salman, dia mengungkapkan, “Perjalanan ini bikin gue belajar menahan ego dan emosi.”
Tempat Penginapan
Tidak hanya perjalanan menyelusuri kuliner maupun tempat wisata, pengalaman mencari hotel murah juga punya cerita tersendiri. Saya dan Salman bisa dikatakan “menang banyak”. Sama halnya dengan perjalanan ke Cirebon bersama keluarga saya. Dari awal, saya dan adik bersepakat untuk urusan penginapan, saya yang menanggung biayanya. Saya tidak ketar-ketir sebab banyak hotel bujet yang nyaman bertebaran di Indonesia.
Melalui booking hotel di aplikasi online, saya menemukan Hotel Ibis Cirebon dan menyewa 2 kamar yang tidak lebih dari Rp750.000. Saat menapakan kaki di Hotel Ibis, wajah tante dan adik saya terlihat sedikit terkejut sebab mereka tidak pernah menginap di bujet hotel. Masuk ke kamar yang connecting, keduanya berteriak, “kecil amat ini kamarnya.” Karena kamar tidak besar, shower, toilet, dan wastafel-nya pun terpisah.
“Buat hotel yang di Semarang, gue aja ya yang pesan!” Saya langsung terbahak mendengar adik. Namun, keesokan paginya, satu per satu dari mereka meluapkan, “Enak juga kamarnya, lumayan, kok.” Lalu, adik saya berubah pikiran, tetap membiarkan saya bebas memesan hotel untuk di Semarang. Di kota ini seperti mengerti pikiran saya, hotel yang saya pesan memberikan diskon 25%, meski bukan bujet, 1 kamar deluxe twin tidak lebih dari 1 juta rupiah. Pengalaman bersama Salman dan teman-teman lain malah membuat kantong bergembira. Masing-masing dari kami hanya mengeluarkan Rp150.000 selama dua hari dan 3 kamar. Cari hotel murah pun di aplikasi online yang sama dengan perjalanan pertama.
Namun Hotel Ibis Cirebon punya kesan tersendiri buat saya. Ukuran ruang kamar memang tidak besar, tapi sangat nyaman, rapi, dan bersih. Di lantai bawah terdapat café yang meracik minuman kopinya sangat baik. Ketika bertemu dengan pemiliknya, dia bercerita pernah mengikuti ritual minum kopi di Keraton Kasepuhan Cirebon. Ritual minum kopi yang hampir sama dengan ritual teh di Jepang. Yang membedakan adalah ritual ini di-peruntukan calon suami dan keluarga (pria) dan disajikan oleh putri keraton, sang calon istri.
Pada hari terakhir di Semarang, saya mendapatkan ide destinasi selanjutnya adalah Bandaneira. Tante dan adik saya setuju, malah kakak saya juga ingin turut serta. “Nah, penginapan kamulah yang urus,” ujar tante.
Selama ada aplikasi online seperti pegi-pegi, saya nggak perlu bingung cari hotel atau penginapan. Mau penginapan mahal atau murah, semua ada di aplikasi. Tapi mata dan perhitungan kita juga harus jeli. Kita harus punya pola pikir hemat agar mendapatkan hotel murah dan nyaman. Sebab, ketika mencari hotel, banyak gambar bagus tapi tidak seperti yang ditampilkan di aplikasi atau website.
Urusan beli tiket kereta maupun pesawat juga tersedia. Yang paling mengasyikan ada kolom artikel rekomendasi, tips, dan event festival. Bagi yang bingung mau jalan-jalan ke mana, artikel mereka bisa membantu kamu keluar dari kebingunan. Satu aplikasi untuk semua kebutuhan. Kemudahan teknologi harus dimanfaatkan secara cerdas, bukan? “
Galeri Destinasi Rekomendasi
Gua Sunyaragi, Keraton Kasepuhan Cirebon, dan Keraton Kanoman Cirebon, ketiganya semua orang merekomendasikan.