Stensil Art: Dance Like Nobody’s Watching

0
4489
Karya Stensil Ringga Wardhana - Hands - sarinovita.com

Menari, siapa yang tidak suka dengan aktivitas ini? Tidak saja yang menari, orang yang melihatnya pun senang, baik itu di ruang tertutup atau ruang terbuka seperti jalanan. Ruang punya jangkauan dan fungsi sebagai penghubung, tak terkecuali jalanan. Seandainya kamu menari di atas stensil lalu jalanan membuatmu abadi, bersiaplah sebab kamu akan selalu berkomunikasi di muka umum.

Ruang publik sering menjadi sarana komunikasi dan dianggap efektif menyalurkan pesan termasuk memberikan pujian. Sejak Nusantara berbentuk kerajaan-kerajaan sampai jaman modern, di jalan-jalan para penari kerap memperagakan tarian dengan berbagai tujuan. Salah satu contohnya pulau Bali yang ternyata memberikan inspirasi pada seorang Ringga Wardhana.

Bagi Ringga, tarian tradisional penuh dengan gerak, irama, aksesoris, dan kostum fantastis. Menyaksikan tarian Indonesia berarti berkenalan dengan karakteristik budaya sekaligus sejarahnya. Unsur-unsur keindahan tersebut diekspersikan oleh Ringga ke dalam bentuk Stensil Art.

Mask of Reason by Ringga Wardhana - karya stensil - sarinovita.com
Mask of Reason by Ringga Wardhana

Suatu bentuk seni rupa yang mengunakan teknik pochoir untuk mengambar atau melukis. Kertas, kain, plat, seng, dan besi adalah bahan-bahan yang biasa digunakan sebagai template dan dapat dipakai berulang-ulang – dengan gambar yang sama.

Dan Witz, Mat Benote, Vhils, Banksy, dan Invader, seniman jalanan yang mendapatkan perhatian publik internasional melalui karya-karya yang ditampilkan di jalan, galeri, dan museum. Mengikuti jejak mereka, Ringga membawa tarian Nusantara untuk diperkenalkan kepada masyarakat Eropa.

Legong by Ringga Wardhana - karya stensil - sarinovita.com
Legong by Ringga Wardhana

 

Dance Like Nobody’s Watching

Adalah tema pameran yang diangkat Ringga di galeri “Oazia”, Jerman, 2016.

Jika ada orang yang malu tampil menari di depan umum, hal ini tidak berlaku buat Ringga. Intisari dari dance like nobody’s watching adalah kebebasan bereskpresi. Keindahan atas karya tari yang diciptakan leluhur ratusan tahun lalu tergambar di dalam stensil. Setiap karya mengisahkan geografis, adat dan tata norma, agama, kehidupan sosial, dan kekayaan.

Tari Legong, tari Pejuang, dan tari Topeng Wayang Gedog, merupakan tarian yang diwariskan secara turun-menurun – mengandung filosofis, simbolis, dan religi. Ketiganya menjadi inspirasi Ringga yang berkesan.

Dalam proses menghasilkan karya tersebut, Ringga mengambil pengalaman saat menyaksikan para penari.  Gerak dan mimik yang menampakan rasa dan emosi serta konsentrasi, kesabaran, dan keluwesan, berada dalam pikiran Ringga. Sehingga karya-karya dua dimensi Ringga seolah menari secara langsung di depan mata pengunjung.

Seni tari memang bukan hanya milik para penari, tapi juga masyarakat seperti Ringga. Ia malah terlintas bahwa menari semestinya menjadi kebutuhan.

“Tari merupakan ekspresi jiwa manusia yang diubah melalui gerak ritmis yang indah.” –Soedarsono

by Vel of Night – Ringga Wardhana

Tari adalah seni yang mengekpresikan nilai batin melalui keindahan gerak tubuh dan mimik. Memiliki aspek gerak, ritmis, keindahan, dan ekspresi. Di dalamnya terdapat unsur ruang, tenaga, dan waktu. Ruang yang  mempunyai hubungan terhadap  posisi, tingkatan, dan jangkauan.

Posisi dalam menari biasanya telah ditentukan sebelumnya oleh penciptanya. Tapi ada juga posisi menari yang tidak ditentukan – mengalir ikuti ekspresi si penari. Secara umum gerak dan musiknya pun bebas dibawakan oleh sang penari. Bahkan, terkadang tanpa bantuan alat musik. Irama yang muncul berasal dari semesta, kebisingan kota atau ruang, suara manusia, suasana, perasaan gelisah atau gembira, dan lainnya. Ditentukan (aturan) atau tidak ditentukan, pengertian posisi lebih mengarah pada arah hadap dan arah gerak. Tubuh menghadap ke depan, ke samping, dan ke belakang. Sedangkan arah gerak, tubuh bergerak menuju ke depan, ke belakang, memutar, atau zig zag.

Bagi Ringga Wardhana, menampilkan tarian tradisional Indonesia ke masyarakat dunia, memiliki kebanggaan tersendiri. Ringga pun beranggapan, menari tari tradisional bukan berarti tidak bisa berekspresi – atau menari seolah-olah tidak ada orang yang menyaksikan. Sebab tarian tradsional tidak berarti tidak ada yang menciptakannya. Pencipta tari pasti mencoba beragam gaya dan gerak melalui konsentrasi, energi, dan kehati-hatian yang berlimpah. Menandakan para pencipta itu bagai melimpahkan gerak dan ritme yang mungkin saja di saat itu tidak ada orang yang menggubris atau menganggunya.

Golden Skin by Ringga Wardhana

 

—————————————————————————————————

Di bawah ini adalah tiga tari tradisional yang diangkat oleh Ringga Wardhana:

Tari Legong. Berasal dari Pulau Bali. Mulai dikenal pada abad ke-19 dan dibawakan oleh 2 gadis penari yang belum menstruasi. Dan ditampilkan di bawah sinar bulan purnama di halaman keraton. Tari Legong berasal dari mimpi seorang pangeran yang melihat 2 gadis menari gemulai dengan iringan gamelan. Kemudian mimpi sang pangeran dituangkan ke dalam repertoar tarian dengan gamelan lengkap.

Tari Legong mempunyai kumpulan gerak yang kompleks dan saling terkait pada struktur tubuh penari yang terpengaruh Gambuh (dramatari Bali). Kata Legong, “leg” berarti gerak tarian yang luwes, dan “gong” berarti musik gamelan.

 

Tari Pejuang/Tentara Dayak (Dayak Warrior). Mengkisahkan seorang pahlawan dari Suku Dayak Kenyah, Kalimantan yang berperang melawan musuh. Keberanian sang pahlawan diceritakan sejak awal ia memulai peperangan sampai mengadakan upacara atas kemenangannnya. Gerakan dalam tarian ini sangat energik, lincah, dan penuh semangat dan kadang-kadang diikuti dengan teriakan penari. Para penari mengenakan pakaian tradisional suku Dayak Kenyah, bersama dengan peralatan perang seperti mandau (pedang Dayak), perisai dan baju besi. Tarian ini diiringi dengan lagu Sak Paku dan hanya menggunakan alat musik sapeq.

 

Tari Topeng Wayang Gedog. Tarian ini berasal dari Jogjakarta.

Berkisah tentang Raden Panji Asmarabangun, putra mahkota dari Jenggala. dan Putri Candra Kirana yang saling jatuh cinta. Candra Kirana adalah inkarnasi dari Dewi Ratih (dewi cinta) dan Panji adalah penjelmaan dari Kamajaya (dewa cinta). Kisah ini diberi judul Smaradahana (Api cinta). Di akhir cerita rumit akhirnya mereka menikah dan memiliki anak. Panji Asmarabangun memerintah Jenggala di bawah nama resmi “Sri Kameswara”, “Prabu Suryowiseso”, atau “Hino Kertapati”.

Kata “gedog” berasal dari “kedok”, yang, berarti topeng. Para penari mengenakan masker yang lebih dikenal dengan sebutan wayang topeng atau gedog wayang.

 

Tulisan tahun 2015