Sore yang lain. Di rumah besar. Di halaman luas. Di teras ramai. Di meja persegi panjang.
Aku melihatnya
Duduk bersama Jokpin
Secarik kertas
Melayang di depanku
Tanganku meraihnya dan
Mulai merangkai kata
Lipatan kertas itu, kuberikan kepada Jokpin saat lelakiku membakar tembakaunya. Lalu, aku segera menyingkir.
“Aku mencintai lelaki yang duduk di sampingmu. Jangan sampai dia tahu.”
Jokpin melirik ke samping. Dan, kembali membaca. Berulang-ulang. Tanpa sepengetahuan lelakiku.
Aku lepas
Bersama angin sore
Setelah
Menarik
Gulungan-gulungan benang
Yang indah tumbuh silang selimpat
Yang kuserahkan kepada Jokpin
Selamat kusut!
Esok pagi
Jokpin ke rumahku
Menyerahkan
Kertas lecek
yang telah diremasnya ronyok
“Bagaimana bisa kau mencintainya saat kau katakan hal sama kepada lelaki yang duduk di depanku?” ujarnya lantang.
Aku masuk ke dalam kamar
Mengambil sebuah kertas
Yang kutulis bersama intuisi
Kemudian, kuberikan kepada Jokpin
“Aku mencintai lelaki yang berdiri di belakang mobilmu. Selamat kusut. Lagi.”
—————————————————————————————————————————————-
Aku ingin merayumu
Dengan segelas jus
Sesegar pipi merahmu
Aku ingin kau meneguknya
Menikmati nutrisi di hatimu
Dari pagi sampai pagi kembali
—————————————————————————————————————————————-
Aku melihatmu di seluruh ruang museum Nasional, bukan Basoeki Abdullah dan perupa lainnya.
“Masihkah Kau Simpan Selembar Kertas Dariku, Jokpin?”
Masihkah kau simpan selembar kertas dariku, wahai penyair?
Sore di kala keningmu penuh kerutan dahi
Kau terus berpikir, dan bertanya
“Mengapa tak kau katakan saja kepada mereka?”
Mustahil, penyair
Karena satu tidak pernah cukup. Satu per satu lelaki di sekitarmu adalah tokoh dan karakter dalam novel muslihat milikku.
—————————————————————————————————————————————-
Cen Yen Han
Aku mengenalnya
Dari kota yang tidak pernah kusuka
Yaitu Denpasar yang ripuh
Dia berdiri di daun telingaku
Menarasikan tentang “aku” dan “aku”
Melalui bibir lara dan bibir riang
Kukecup rindu yang terbawa angin
Dan bertengger di atap rumah Sanur
Dia melakoni peran serta membawa
Angin sampai ke tanah Canggu
Dia masih dekat di telingaku
“Satu tahun untuk kembali berpisah,” ucapnya.
Denyut gelebah ini memasungku
“Aku takkan kembali kepada ranah yang ingin bersamaku hanya setahun,” deruku.
Tapi puluhan malam
Adalah siksa tanpa kisahmu
Di daun telingaku
Di dalam ceritaku
Yang bisa jadi pendek
Bisa pula jadi panjang
Dalam ketikan
Sebuah buku
—————————————————————————————————————————————-
Mencintaimu adalah
Membuka apa aku
Merebahkan aku kepada semesta
Dan Cinta
Mekar
Di Bromo
Karena
Menghitung
Kecupan
Yang
Datang
Tiba-tiba
Dari Batur
Dan dari
Segala
penjuru
*Sumber gambar: dreamstime.com
*Salah satu di atas ditulis oleh rahasia
Artikel yang menarik.
Termasuk jenis apa ya artikel semacam ini?
Salam hangat dari Surabaya
Haha..ini bukan artikel Bapak…Thnx sudah membacanya
Aku menyukai cara mbak sari menulis ^^ kena di hati
Makasih Winda