Yang Pergi Meninggalkan Imajinasi

0
835

images

Drama. Baginya, kehidupan orang-orang yang hampir ditemuinya setiap hari adalah drama. Muak, tapi harus dijalani. Mungkin, seperti itulah kehidupan yang diberikan untuknya. Suka atau tidak suka, dia harus menerimanya. Namun, saat ini, semut-semut merah di tubuhnya sudah berada di puncak kepala. Kata semut-semut merah itu, “Tujuannya untuk memusnahkan jantung pikiran dan melemahkan karakter .”

Dia. Lelaki. Mereka, lelaki dan perempuan. Perempuan bukan wanita. Lalu apa bedanya perempuan dan wanita itu? Ah, nanti saja dijawab pertanyaan ini. Mari kembali ke semut-semut merah. Mereka juga mengatakan, “Kami pernah mendengar lelaki itu mengakui dirinya sebagai drama.” Sebuah buku yang setiap hari dibaca oleh lelaki itu, tidak menyangkal ucapan mereka. Buku? Jadi dia membaca buku setiap hari? Apakah seperti mereka yang baca koran setiap hari? Ya, tidak hanya koran, bahkan mereka membaca buku-buku tebal berbahasa “profesor”. Sungguh menakjubkan!

Tunggu ini sedikit membingungkan, mereka banyak membaca dari berbagai buku dan koran, lalu, dia hanya membaca satu buku? Sebuah berarti satu, bukan? “Ya, sebuah buku berjudul ‘Tangga-tangga..'” mereka tidak melanjutkan judul buku itu. Bikin penasaran saja. “Manusia harus sakit terlebih dahulu, baru akan mengerti isi sebuah buku tersebut,” jawab semut-semut merah. Dan judul lengkap bukunya? Mereka hanya senyum-senyum saja. Baiklah kalau begitu.

Apakah dia sakit?

Jika tidak sakit, dia tidak akan mengakui dirinya adalah drama. Drama yang menapaki bukit-bukit lintasan imajinasi. Imajinasi yang berseliweran di antara pria dan wanita. Karena itulah, semut-semut merah ada berkelamin pria dan ada berkelamin wanita. Bukankah Tuhan hanya menciptakan wanita dan pria? Sedangkan dia adalah seorang pria yang mengaduk-ngaduk wanita di dalam pikirannya, sehingga bisa dikatakan dia mengalami kekurangan karakter. “Dia merupakan target kami yang sangat tepat,” ucap semut-semut merah lugas.

~*~

Setiap hari adalah panjang dan melelahkan. Ditambah imajinasi yang memaksanya sangat kuat, berputar dalam rasa dan pikiran. Pikiran-pikiran itu muncul dari kepala seorang wanita yang setiap harinya mengumpullkan imajinasi di aquarium kamarnya. Antara dia dan wanita itu sebetulnya tidak pernah berjumpa, apalagi berbicara. Suatu malam, dia bermimpi menari di atas kertas bersama wanita itu. Mimpi yang setiap hari datang di bawah pikiran sadarnya. Mimpi yang terus berlanjut tanpa mengenal hari libur. Karena dia  sangat menikmati tarian mereka di lembaran kertas.

“Jika ingin sehat, kamu harus menari,” ucapnya kepada wanita itu.

“Tapi, aku tak bisa menari,” jawab wanita itu.

“Perjalanan yang bisa mengajarimu menari,” ujarnya.

Hanya sebuah kalimat, dia mampu membujuk wanita itu. Dia pun bersedia hadir di setiap hari sang wanita  menjalankan harinya, walau dunia mereka tidak sama. Ribuan lembar kertas habis dibabat mereka berdua. Nada-nada tidak lelah menjelajahi dua telinga dengan irama berbeda. Ruang-ruang rela berpura-pura bodoh menyaksikan tingkah laku mereka. Sepasang sepatu di bawah meja mendadak diam  jika dia dan wanita itu muncul. Mungkin hanya pohon jambu yang tidak pernah setuju dengan kegiatan mereka berdua.

Buah jambu tidak selalu manis. Tidak jarang berasa asam atau kecut di lidah. Ini memang bukan buah jambu untuk manusia. Anehnya, meskipun tidak suka, pohon  jambu selalu mengubah dirinya menjadi lensa kamera. Lensa-lensa yang hasilnya terkadang manis, terkadang kecut. Secara terang, pohon jambu  berdiri tegak berada di dalam rumah besar, dan ini mengakibatkan semut-semut merah berdatangan tanpa henti. Secara redup, ups, maaf berjuta maaf, sang pohon Jambu tidak ingin identitasnya disebarluaskan. “Cukup orang-orang yang mempunyai keistimewaan,” begitu katanya. Dan semut-semut merah itu tahu siapa sebenarnya si pohon jambu itu, mereka hanya pura-pura tidak tahu seraya bertamasya di kaki pohon Jambu.

~*~

Dia melemah. Karena buah jambu yang baru lima menit dimakannya. Dia duduk bersandar di kaki pohon Jambu. Tentu, terbuka kesempatan semut-semut merah tuk puas melahap otak pikirannya, “Habisi, jangan sampai bersisa!” seru pemimpin semut merah dengan suara lantang. Dia semakin melemah. Tidak berdaya. Namun, tangan kanannya masih mampu membuka sebuah buku yang selalu menemaninya. Dia berusaha membaca lembaran halaman yang berisi,”Naiklah sepeda menuju tangga-tangga jiwa.”

“Ah, lagi-lagi kalimat imajinasi sialan!”  ucapnya dalam hati.

Dia pun pelan-pelan dengan berusaha keras mengingat pertemuannya dengan wanita itu. Berkali-kali dia mencoba. Perlahan. Pelan. Namun, dia tidak berhasil. Sampai nafas yang terakhir, tiba-tiba saja sebuah cahaya putih terang muncul dari atas pohon Jambu. Jatuh berhamburan di raga dan saat itu juga tubuhnya merasakan kehangatan bagai daya magnetik yang mencubit sel-sel untuk beraksi. Tak lama, Wajah wanita itu muncul  bergandengan tangan bersama butir-butir cahaya. Turun perlahan dan duduk manis menghadap lelaki yang hampir saja tewas. Sekejap, dia kembali hidup. Wanita itulah yang memang dicari-carinya untuk mengganti ratusan nyawa yang musnah dimakan oleh semut-semut merah.

“Bangunlah. Ajak aku berkenalan dengan  kepribadian yang terbagi-bagi di dalam rumah ini,” ucap wanita itu.

Dia segera beranjak dari sandaran lemahnya. Sigap berdiri tegak , sirnalah semua ketatihan yang baru beberapa menit terjadi. Dia dan wanita itu melangkah riang. Mengunjungi sejuta episode dari sutradara-sutradara kawakan. Bersalaman, foto bersama, membaca buku, berbincang dengan para sutradara sekaligus pelakon. Para sutradara yang berkehendak sendiri melewati batas kemampuan dan kesadarannnya.

Ya, mereka membicarakan masa lalu dan masa depan. Masa lalu yang tajam. Masa depan yang tumpul. Mereka tidak perlu membicarakan masa sekarang, karena masa sekarang tidak bisa diganggu gugat dan dijaga ketat oleh pohon Jambu. Masa sekarang yang terbagi-terbagi. Terpental. Terpisah. Dan terbalik. Manusia belum tentu bisa mengerti dan menangkap arah percakapan mereka. Manusia belum tentu bisa tertawa, bahkan menangis dengan mereka. Tapi dia dan wanita itu bisa. Apalagi si pohon Jambu. Yang terpenting semut-semut merah bisa berpesta setiap harinya, mengunyah daging merah segar, kemudian meninggalkan kepala-kepala bersama pertanyaan dan jawabannya.

Ya, baginya mereka hanyalah drama tiada habis. Sudah waktunya, pergi meninggalkan drama yang terpisah dari kepala dan tubuh mereka. Sudah waktunya, dia pergi meninggalkan imajinasi. Imajinasi berkelamin perempuan yang menjelma wanita elegan abad 21. Wanita yang menyimpan hati dan ruang luas untuk lelaki itu, dia. Wanita yang sebetulnya tidak pernah didekap oleh dia. Wanita yang sebetulnya tidak pernah berjalan bersama dia. Wanita yang tidak pernah ditemui oleh dia. Wanita yang hanya berada di ruang delusi. Delusi yang panjang dan melelahkan. Dan Sebuah buku yang tidak pernah habis dibaca. Semuanya oleh dia, sang delusi

“A delusion is a belief held with strong conviction despite superior evidence to the contrary.  As a pathology, it is distinct from a belief based on false or incomplete information, confabulationdogmaillusion, or other effects of perception.” – Wikipedia