Wanita Indonesia Perlu Tahu Aset yang Dimilikinya

2
831

Bisa dibilang, rata-rata wanita Indonesia yang saya kenal ataupun lihat, mereka merupakan orang-orang yang mandiri. Hampir semua wanita yang saya kenal bekerja, ya untuk dirinya sendiri, keluarga, bahkan untuk orang banyak. Terlebih lagi, pria jaman sekarang menginginkan wanita yang punya penghasilan sendiri. Suatu ketika, saya  mengunjungi Pulau Flores, saya melihat perbedaan cara pikir dan budaya yang jauh antara Bajawa kota dan Bajawa pegunungan. Wanita-wanita Bajawa kota lebih kreatif dalam mengolah dan menyajikan makanan, lain halnya dengan para wanita Bajawa yang tinggal di pegunungan. Wanita Bajawa yang menetap di kota, rata-rata bekerja, entah itu di toko, hotel, restoran, atau di kantor kecamatan. Sedangkan wanita pegunungan hanya membantu suaminya di ladang, paling mereka menjual hasil kebunnya kepada masyarakat sekitar.

Raut wajah wanita pun berbeda di antara yang berada di kota dan di pegunungan. Wanita yang di pegunungan tampak pasrah dan kurang mimik semangat, sedangkan wanita kota sebaliknya. Saya mengambil kesimpulan, letak geografis dan budaya memengaruhi hal ini. Wanita Bajawa yang tinggal di pegunungan masih memegang budaya menyerahkan semuanya kepada suami dan budaya ‘pasrah’. Saya yakin masih banyak wanita-wanita lain yang terbelenggu dan terima nasib di daerah-daerah Indonesia. Dan kesimpulan saya bisa dibilang salah. Mungkin juga termasuk kota-kota besar, seperti Jakarta. Buktinya, Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Anak (KPPPA) masih melakukan pertemuan untuk menyebarluaskan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan.

Kegiatan ini dilakukan pada tanggal 23 Oktober 2015, di Grand Cemara, Jakarta Pusat. Dengan tujuan kepentingan nasional upaya pencapaian SDG’s yang terdiri:

  1. Penghapusan kemiskinan ekstrim dan kelaparan
  2. Perluasan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan
  3. Penjaminan keberlanjutan lingkungan

Soal kemiskinan, pertumbuhan ekonomi Indonesia memang masih kecil, bahkan tumbuh lambat di era sekarang. Kelaparan? Hmm, rasanya tidak. Setahu saya, Indonesia memiliki sumber kekayaan alam yang luar biasa, termasuk tumbuhan-tumbuhan yang tumbuh subur dan bisa dimakan. Atau kelaparan yang terjadi di kota besar, bukan di daerah-daerah.  Tujuan kegiatan ini juga untuk mengurangi tenaga kerja wanita yang akan bekerja di luar negeri (TKW). Tujuan ini masih bisa diterima oleh saya, mengapa jauh sampai ke negeri tetangga hanya untuk mengais rezeki dan perubahan kehidupan yang lebih baik. Sebagian dari TKW mengalami hal tidak enak, seperti mendapatkan kekerasan fisik maupun seksual. Sebagian lainnya, berhasil dan membawa tabungannya ke kampungnya, kemudian membuka usaha sendiri. Pengalaman yang mereka dapat, membuat pengetahuan mereka semakin luas.

Masih banyak yang bisa dilakukan di negeri ini, asalkan terus berusaha dan pantang menyerah. Namun, permasalahan tidak hanya di sekitar ini. Para wanita Indonesia yang mempunyai pekerjaan, ternyata masih mengalami masalah kepercayaan diri, tidak bisa me-manage hidup, waktu, dan keluarga, bingung harus menjalankan bisnis atau tidak, dan berbagai problema lainnya. Padahal menurut data IFC 2011, dari total jumlah usaha yang ada di Indonesia, 60% dimiliki atau dikelola oleh Wanita. Dan perceraian terjadi, 90% berasal dari wanita – banyaknya karena masalah ekonomi. Kalau melihat data IFC 2011, semestinya perceraian yang lebih banyak diajukan oleh wanita, tidak terjadi. Tapi kenyataan bicara lain.

Para peserta yang diundang di dalam pertemuan ini, terdiri dari blogger, Ibu rumah tangga, Ibu yang memiliki usaha online, pelajar SMA, masyarakat umum, dan narasumber: Blogger, Ani Berta,  Psikolog, Puspita Zorawer, dan Pebisnis, Martha Simanjuntak. Jumlah peserta sekitar 40. Dari jumlah ini, saya pun masih melihat sebagian wanita yang tidak tahu harus berbisnis apa untuk membantu perekonomian keluarganya, tidak dapat mengatur waktu antara pekerjaan dan keluarga,  tidak percaya diri dan tidak bisa mempercantik diri.

Soal ekonomi atau bisnis, data  KPPPA menyebutkan 48.85 dipegang bidang pertanian, dan hanya sebesar 28,82% di bidang jasa perdagangan, hotel, dan restoran. Penyerapan tenaga kerja pada usaha mikro, 45,44% di bidang pertanian, dan 27,91% industri olahan usaha kecil. Data tersebut menunjukkan, bidang pangan masih memegang kunci perekonomian.  Tadi malam saya baru saja menonton di televisi swasta yang memperlihatkan petani tebu berpenghasilan sekitar 7 juta per bulan. Namun, mengapa banyak masyarakat dan anak muda menyepelekan profesi petani? Lalu,apa masalah yang sebenarnya? Tidak percaya diri, tidak bisa mengatur, malu dan lainnya, itu hanyalah masalah yang dijadikan alasan. Apakah ini menyangkut kepedulian atau kesadaran pada diri dan kreativitas?

Bersambung

 

2 COMMENTS

  1. “Tadi malam saya baru saja menonton di televisi swasta yang memperlihatkan petani tebu berpenghasilan sekitar 7 juta per bulan. Namun, mengapa banyak masyarakat dan anak muda menyepelekan profesi petani? Lalu,apa masalah yang sebenarnya? ”

    Tertarik sama kalimat ini.
    Jadi inget waktu di sumbar dulu, penghasilan menyadap karet itu 5-10 jutaan
    Tapi, anak mudanya justru pada merantau ke kota besar, seperti Jakarta, Bandung, dll
    Salah satu tetua yang saya tanyain waktu itu, menurutnya anak muda sekarang mayoritas merasa gengsi, -terutama gadis- kerja di ladang
    Padahal, kalo kerja di kota, penghasilannya ga sampe setengah dari nyadap karet…

    Ironis kan?

  2. Iya Benar Lul..anak muda merasa nggak keren dgn profesi seperti petani..mereka knp nggak mikir tentang duit yg bakal dihasilkan, ya?…daripada kerja di kota dan hanya jadi pesuruh, gajinya pun tak seberapa