Fenomenologi Wanita Ber-high Heels

14
868

High Heels, identik dengan wanita. Tapi bila bicara sejarahnya, jenis sepatu high heels kali pertama digunakan oleh kaum pria. Menariknya kaum pria  tahun 1500 – 1700-an mengunakan heels agar mudah mengendalikan kuda. Satu tangan memegang pedang, satu tangannya lagi menggengam tali kekang kuda, dilakukan supaya tubuh mereka tetap tegap di saat berperang. Whattt? Mau perang masih memikirkan ke arah situ? Hmm, adakah hubungannya dengan fenomenologi  dan wanita ber-high heels?

Apakah ini menunjukan  tidak ada perbedaan antara wanita dan pria dalam penampilan fiksi. Penampilan yang merepotkan diri apalagi untuk berperang. Tapi, jangan terkecoh dahulu dengan paragraf di atas. Alasannya, paragraf di atas merupakan sejarah yang diceritakan oleh seorang wanita. Paragraf yang saya petik kalimatnya dari sebuah buku yang menyibak tentang High Heels. Ah, apa menariknya dari buku yang berceloteh mengenai high heels? Bukankah  high heels hanya berupa gaya hidup? Tambahannya lagi paling seputar meningkatkan kepercayaan diri yang bertujuan agar terlihat lebih cantik atau lebih tinggi.

Tapi pertanyaan saya tadi hanya pemikiran saya saja. Banyak yang bisa diulas dari sepatu ber-hak itu. Termasuk, saya punya sepatu tinggi yang saya gunakan untuk pesta dan ngantor (masa pernah ke kantor). Malah saya punya sepatu yang hak-nya tinggi tapi tidak pernah dipakai – saya beli karena saya suka modelnya. Walaupun saya wanita yang cuek soal penampilan, bahkan orang bilang saya tomboy, tapi tetap saja saya pernah menggunakan high heels. Nah, tipe wanita seperti saya juga bagian dari isi buku yang memaparkan motif, makna, status diri, dan perilaku. Dan menurut saya, setiap wanita pasti memakai sepatu high heels, entah itu pernah, masih, maupun yang tidak bisa lepas dari jenis sepatu ini.

Sebagai wanita yang tidak kelihatan punya pikiran terhadap sepatu ber-hak, tapi saya punya sepatu idaman. Dari karya cantik desainer Christian Louboutin. Sejak lama saya selalu ingin memiliki sepatu seperti gambar di bawah ini. Untuk dipakai? Mungkin, setidaknya saya pakai sekali atau dua kali. Lalu untuk disimpan saja? Why not? Saya menganggap sepatu idaman saya ini adalah sebuah karya seni bernilai tinggi. Sayang belum mampu beli sepatu dari desainer kece, Christian Louboutin.

 

Sepatu Christian Louboutin
Sepatu Christian Louboutin Idaman Tante Sari

Bicara soal sepatu, nama Christian Louboutin tentu berkaitan erat. Manolo Blahnik, Jimmy Choo, Tods, dan Gucci adalah nama-nama desainer yang memproduksi sepatu. Wanita yang senang menggunakan sepatu dari merk-merk terkenal, pasti mengenal mereka. Saya saja suka dengan model-model yang mereka desain, apalagi mereka. Ika Noorharini, Fashion Stylist, menghubungkan Chrisian Louboutin, Manolo Blahnik, dan Jimmy Choo dengan motif, makna, status diri, dan perilaku. Keempat sisi tersebut dikupas terperinci bersama hasil wawancara 15 wanita oleh Ika Noorharini di Buku berjudul “Fenomenologi Wanita Ber-high heels”.

15 wanita yang salah satunya ialah Ayu Utami, penulis novel, yang memberikan opininya tentang  “Manik-manik” untuk menambah nilai estetika – yang merupakan bagian dari motif alasan wanita ber-high heels.

“Estetika ini digarap oleh perusahaan dan industri sepatu. Estetika akan mempengaruhi keinginan diri kita untuk sepenuhnya terlihat cantik. Unsur estetika inilah yang dijadikan industri sepatu untuk memproduksi sepatu…”

Estetika  selalu hadir pada sesuatu yang membawa keindahan. Namun indah belum tentu mengandung unsur estetika. Bagi Rinni, seorang model, untuk tampil menarik harus mengetahui apa yang pantas dan apa yang tidak pantas dikenakan pada tubuh. Lain halnya pendapat Ibu Wieke, seorang Dubes, “Wanita tidak harus membuat dirinya seksi, tapi menunjukkan ‘that you care about your body'”. Estetika bagi wanita adalah pakaian ataupun atribut lainnya yang dapat mempercantik dan mengubah penampilan sesuai yang ia inginkan.

Perbedaan pandangan 15 wanita di buku ini bicara di setiap motif, makna, status diri, dan perilaku yang poin-poinnya cukup banyak dan asyik dibicarakan. Ada wanita yang telah menjadikan sepatu ber-hak sebagai gaya hidup, namun ada juga yang memandang biasa-biasa saja. Saya pun tidak menyadari bahwa high heels ada di perjalanan hidup saya. Saya mencari ‘bentuk’ diri di buku yang rilis tanggal 9 September 2015 ini, apakah saya termasuk beberapa motif, makna, status diri, dan perilaku yang ada di buku ini.

 

Keempat hal tersebut memiliki proses yang berurutan. Namun Ika Noorharini menuliskan bahwa mungkin saja seseorang mempunyai makna tanpa sebuah motif. Perilaku juga tidak harus melewati status diri. Jika dianggap seperti kontinum, tingkatan motif dan makna berada di posisi internal, sedangkan status diri dan perilaku berada di eksternal.  Internal maupun eksternal merupakan faktor-faktor yang berputar di suatu lingkaran secara perlahan. Dan eksternal adalah pembentuk internal. Penulis secara halus membahas psikologis yang bukan bicara sepatu tinggi saja, tapi kehidupan yang lebih luas.

Warna merah pada sepatu high heels ditautkan sebagai suatu kekuatan yang terpendam. Yang di dalamnya ada kelembutan dan kekuatan yang dipertemukan.

Wanita memiliki sebuah kelebihan yaitu mampu menggabungkan kelembutan dan kekuatan menjadi potensi besar dalam dirinya.” – Buku Fenomenologi Wanita Ber-high heels, Ika Noorharini. 

Saya suka warna merah, tapi tidak suka mengenakan baju, sepatu, jam tangan, tas, syal yang berwarna merah. Saya tidak tahu dengan wanita-wanita lainnya. Warna merah yang mengambarkan karakter diri kaum wanita. Yang lagi-lagi dirangkai oleh penulis secara apik. Model, tipe, warna, kebutuhan dan sebagainya merupakan pilihan masing-masing, yang mengambarkan diri kamu. Dan tidak bisa dipungkiri, flat ataupun high heels, itu adalah fashion kamu. Suatu fashion yang tanpa disadari maupun disadari telah menceritakan siapa kamu, latar belakang, bahkan perjalanan kamu.

Fenomenologi Wanita Ber-high heels

O, iya saya belum selesai alasan mengapa pria di tahun 1500-1700-an mengunakan sepatu high heels. Ada alasan lain yang tidak sekadar ingin tubuh mereka tegap. Namun, rasanya kamu bisa membaca sendiri buku Fenomenologi Wanita Ber-high heels yang juga menceritakan sepatu alas tinggi kali pertama digunakan di zaman Yunani kuno. Buku yang sebelumnya adalah sebuah tesis milik Ika Noorharini. Buku yang memasukan ethos dan pathos yang bergabung untuk menghilangkan logos. Dari ketiga hal ini, pembaca bakal diajak ke suatu dunia yang kadang tak terpikirkan oleh kita. Tidak saja tutur kata dari 15 wanita, tapi juga pandangan pria yang gerah melihat istrinya masih ingin memakai high heels di saat hamil.

.

Judul Buku         : Fenomenologi Wanita Ber-high heels

Penulis                 : Ika Noorharini

ISBN                     : 978-602-73069-0-5

Editor                   : Sori Siregar

Creative Director : Yuri Heikal Siregar

Iluustrator            : Tigana Dimas Prabowo & Firas Sabila

Production             : Abdul Rozak

Penerbit               : PT. Artha Kencana Mandiri

Public Relation : Trishi B. Setiayu

Book Cover

Photographer     : Erich Silalahi

Producer            : Wina DP

Fashion Stylist  : Ika Noorharini

Make Up Artist  : Agnes Oryza

Model                 : Rinna Suri & Rinni Siri

Retoucher          : Poso Marwan

Videographer    : Rahmat H. Pulungan

14 COMMENTS

    • itu juga idaman sepatuku Te..aku malah ngak pernah sekrang..tp ingat aja dulu pernah make, asyik juga…aku dulu kalo nari Salsa mau ngak mau pake high heels krn fokus jadi ngak sakit n lelah..wedges juga oke Te..

    • tapi gak terbayang, kalau dulu tren mode gak berubah maka bisa jadi hari ini saya mikir; besok pakai high heels yang mana ya?—->> udah gitu banyak pilihan warna lagi ya Daeng trus cari yang sesuai dengan baju..hahahha