Buku Pemenang Sayembara Manuskrip Puisi DKJ Menjawab Masa Depan yang Suram

6
842

tak ada yang baru di bawah matahari,

pada akhirnya,

apalagi di bawah pohon, ataupun ketiak

 

Tiga baris kalimat di atas adalah cuplikan dari puisi ke-14 yang berjudul Ragam-Macam Payung Beserta Karakteristiknya. Judul puisi yang tersimpan dalam kumpulan puisi Norman Erikson Pasaribu “Sergius Mencari Bacchus” yang menjadi pemenang pertama Sayembara Manuskrip Puisi DKJ 2015. Kegiatan sastra ini mengingatkan pada puisi yang terdapat di film AADC. Bukan mengenai isinya, melainkan animo jumlah peserta yang melebihi target,  serupa dengan penjualan buku puisi Aan Mansyur yang di hari pertama penerbitannya ludes dibeli oleh pembaca.

Mikael Johani, salah satu juri Sayembara Manuskrip Puisi DKJ 2015 mengutarakan pendapatnya perihal ini. Biasanya sayembara tersebut menerima tulisan peserta tidak lebih dari 200 dan mereka memang hanya menargetkan 200 peserta. Pada kenyataannya, Sayembara Manuskrip tahun 2015, mereka menerima 572 peserta. Belum lagi Big Bad Wolf Book Fair yang dilaksanakan di Indonesia Convention Exhibition memperlihatkan antusias pembeli buku yang selalu ramai. Bahkan awalnya panitia hanya merencanakan penutupan di tanggal 8 Mei, tapi kemudian diperpanjang sampai tanggal 9 Mei 2016.

Geliat tersebut meruntuhkan opini yang menganggap masyarakat Indonesia minim membaca dan menulis.

Persoalan masa depan puisi pun diangkat. Yang awalnya banyak memandang  puisi Indonesia bermasa depan suram, bagai mansuh di tangan-tangan ketiga pemenang Sayembara Manuskrip Puisi DKJ 2015, juga puisi para peserta lainnya – yang menurut Mikael, ia menemukan perubahan di sana.

Tanggal 10 Mei 2016, Amber Chocolate, Jakarta, saat soft launching buku ketiga pemenang terjadi diskusi yang penuh energi antara pembahasan buku ketiga pemenang dan eksistensi puisi di Indonesia. Jelas ketiga pemenang: Norman Erikson Pasaribu, Ni Made Purnama Sari, dan Cyntha Hariadi turut membuka suaranya mengenai hal ini.

Puisi itu segala zaman yang mengalami perubahan mengikuti zamannya. Pengaruh penulis memang bisa didapatkan dari mana saja, dari penyair lama, luar negeri, lingkungan, pengalaman, budaya, dan lainnya. Semua itu proses yang membentuk pandangan dan tulisan si penulis. Oleh karenanya, Norman dan Purnama sepakat bahwa penyair harus mampu mengeluarkan karakternya sendiri dengan mengunakan bahasa yang sederhana maupun rumit. Sebaiknya pun penyair bisa merespon situasi, kondisi, lingkungan, dan lainnya yang terjadi.

Bila dikatakan masa depan puisi suram, mereka bertiga tidak setuju. Karena selalu ada jalan untuk mengantisipasinya. Sama halnya yang diucapkan Mikael, puisi ketika berada di kondisi stagnan, pasti selalu muncul penyair baru yang melakukan pembaruan.

Pembaca bosan, pasti penulis juga bosan,” tutur Mikael. Selalu ada yang menyadari kebosanan yang terjadi. Tidak sedikit yang mencari cara untuk melenyapkan kebosanan. Ataupun munculnya penyair baru yang menonjol dan akhirnya disukai oleh pembaca.

“Minat membaca atau menulis yang minim, itu semacam klise atau rendah diri orang Indonesia, “ lanjut Mikael. Malah menurutnya puisi sekarang sedang naik daun, bahkan laku di toko buku. Penyair muda banyak yang  bukunya dicetak ulang.

Ni Made Purnama menambahkan, bagaimanapun bentuk gaya bahasa, puisi itu harus punya medium yang baik: bahasa, irama, tema, rasa, dan suasana. Ya memang benar apa yang dikatakannya, dalam kondisi atau perubahan apa pun minat pada puisi, penyair sebaiknya tetap menulis dengan pacuan medium yang baik.

Pemenang Sayembara Manuskrip DKJ 2015
Pemenang Sayembara Manuskrip DKJ 2015

Buku Puisi Ketiga Pemenang Sayembara Manuskrip DKJ 2015

Terkait apa yang dikatakan Purnama, Mikael (penulis, editor) menjawab alasan ketiga juri (Mikael, Joko Pinurba, dan Oka Rusmini) memilih ketiga pemenang:

  • Gaya yang berbeda
  • Keragaman tema
  • Penulisan yang sangat baik

Ketiganya memang punya keunikkan masing-masing dan intelektual. Keunikan  dan cara mengungkapkan kepada pembaca sangat baik dan lembut.

Norman Pasaribu

Sergius Mencari Bacchus” bertema orang terpinggirkan atau minoritas. Tema personal yang diangkat Norman digebyarkan melalui proses apa yang dilihatnya, dirasa, dipahami, riset, dan sejarah. Baginya puisi adalah alat komunikasi. Karena ada hal yang ingin dikatakan. Sesuatu hal urgensi, tidak nyaman, dan harus dikatakan. Meski hal urgensi  itu merupakan pandangan secara personal yang belum tentu buat orang lain.

Di dalam bukunya, Norman menyertakan refrensi yang sangat menarik untuk dibaca. Satu  lagi di bagian akhir, Norman menuliskan catatan (inspirasi) terhadap puisi yang ditulisnya. Salah satunya:

“La vita nuova”: “I’m sorry. We know how it works. The world is no longer mysterious.” – Richard Siken, penyair, pelukis, dan film maker.

Ni Made Purnama Sari

Purnama mengambil tema  asal muasal (the beginning) dalam manuskrip setebal 85 halaman berjudul “Kawitan”. Buku puisi ini berisi tentang permahaman atas pertanyaannya tentang the beginning, keluarga, dan budaya.  Juga pengalamannya hidup di luar Bali dan tentang Bali yang mengangkat ekosentris dan Bali apa adanya.

Yang kental terbesit dari pengakuan Purnama saat menceritakan pengalamannya bergabung di suatu komunitas. Baginya bergabung dalam komunitas apa pun, itu memengaruhi suatu proses kita ke depannya. Proses yang dilaluinya bersama komunitas disertai buku dan eksternal. Purnama juga mengupas puisinya “Semangka di Semanggi” tentang memori kultural yang melekat.

Jika ingat di masa kanak-kanak, bagaimana kita makan semangka di kebun, bagaimana buah itu tumbuh di pohon, bagaimana cara kita memakannya, bagaimana mengupasnya dan bagaimana ketidaksabaran membelah semangka. Memorinya itu ditaruh ke dalam puisinya secara tidak agresif tapi lepas ke masa kanak-kanak yang masih diingatnya sampai ia dewasa. Memori kanak-kanak bagi Purnama tidak banyak didapatkan dari anak-anak zaman sekarang.

Akhir minggu, awal minggu

buah-buah rekah dalam poster iklan

mengangan yang sungguh, namun tiada

Begitu Purnama menorehkan memori masa kanak-kanak di era serba digital.

Cyntah  Hariadi

Jika pembaca fiksi sudah mengenal nama Norman Erikson Pasaribu dan Ni Made Purnama Sari, pasti bertanya siapa Cyntah Hariadi?

Cyntha mengaku bukan penyair. Ia bekerja d bidang advertising, meski masih berhubungan dengan tulis menulis, dalam menulis puisinya ini, ia menulis untuk dirinya sendiri.

Ia mengaku buku puisinya ini bertema personal. Adalah sebuah kumpulan atau mungkin tumpukkan kompleknya menjadi seorang Ibu. Bahasa dalam buku puisinya “Ibu Mendulang Anak Berlari” sangat sederhana namun diusung secara mengagumkan.

Toing, toing, toing

Kanga menyanyi dan menari bersama makhluk hutan

Roo bertepuk tangan melompat bergantian

Toing…toing…toing

Roo menguap

Kanga lupa kakinya di mana

Malam datang awal di utara

Kanga menunggu bualan burung hantu diiringi sitar

hanya darinya ia tahu rupa dunia di luar hutan seribu hektar

Mungkin ini yang membuat ketiga juri Sayembara Manuskrip Puisi DKJ 2015 jatuh cinta kepadanya. Kepada seorang penyair baru yang muncul di pentas puisi.

Menulis puisi merupakan suatu kebebasan bagi saya dan mengurai apa segalanya yang saya rasakan.” – Cyntha Hariadi.

Jangan sampai melewatkan ketiga puisi ini. Saya optimis dan percaya kepada mereka bisa membawa puisi ke masa depan cerah. Semoga laku di pasaran dan semua orang bisa ikut merasakan isi dari buku ini,” ucap Mikael Johani saat diwawancarai tentang masa depan puisi

 

 

6 COMMENTS