Generasi Sampah Plastik Atau Inovator Plastik Nabati?

0
4819

Bicara soal sampah seolah tidak ada habisnya, belum juga ditemukan solusinya.  Berbagai pihak, entah itu dari pemerintahan, industri maupun perorangan masih saling menyalahkan dan lempar tanggung jawab. Sementara jumlah sampah semakin hari, makin meningkat saja. Dan baru sedikit masyarakat yang tahu bahwa sebesar 50% di dalam tubuh ikan di perairan Laut Mediterania telah mengandung sampah plastik. Lalu, apa kabarnya ikan-ikan yang ada di perairan Indonesia?

Pada suatu sore yang menyenangkan di Javara Culture, kawasan Kemang, berkumpulah pelaku dan pemerhati, yang terdiri dari Bapak DR. Novrizal Tahar, Direktur Jenderal PSLB3 Kementerian LHK, DR. T. Rameyo Adi, Staf Ahli Menteri Kordinator Bidang Kemaritiman, Subhan Usman, Aquaculture Seaweed Manager, TNC, NTT, Amanda Katili Niode, Omar Niode Foundation, Vita Datau,  Ketua Tim Percepatan Kuliner dan Belanja Kemenpar, Shanti Serad, Ketua Aku Cinta Masakan Indonesia (ACMI), Helianti Hilman, Founder Javara Culture Shop, Eat, and Learn, Virginia Kadarsan, nutritionist, Sita Rani, Komunitas Kehati, Swietania Puspa, Komunitas Diving Marine Debris, Anisa Sekarningrum dan Kaningga Janu, Belanga Komunitas Kuliner,  Rina Kusuma, Mama Aleta Fund, dan saya sendiri sebagai food blogger, untuk membahas edible food packaging.  Pembahasan ini juga menyertakan social media Skype, karena  Bapak Subhan Usman yang menetap di luar Jakarta,. Beliau  memaparkan kondisi rumput laut di NTT. 

Awalnya pembicaraan tidak jauh dari seputar bahan makanan. Lalu topik ini berkembang, dari perihal kemasan makanan sampai kebijakan pengunaan sampah plastik. Mengetahui permasalahan, beberapa kali, VIta Datau menanyakan “apa yang bisa kami lakukan?”, karena beliau berada di Tim Percepatan Kuliner dan Belanja Kementerian Parisiwisata yang tentu saja berhubungan erat dengan sampah.  Rumput laut pun turut diangkat dalam FGD (Forum Group Discussion), 17 Oktober 2018, berlokasi di Javara Culture, Kemang Utara A No.3, Jakarta Selatan. Benarkah rumput laut bisa menjadi solusi atasi masalah sampah plastik?

Indonesia adalah salah satu penghasil terbesar rumput laut merah di dunia yang mengandung karbohidrat yang merupakan bahan utama pembuatan bioplastik (yang belum tahu apa itu bioplastik, please, search on Google).  Lebih salutnya lagi, di dunia, Indonesia juga menjadi salah satu pencetus cangkir plastik dan kotak makanan yang menggunakan bahan dasar rumput laut. Menariknya, cangkir (gelas) plastik ini setelah dimanfaatkan sebagai tempat minum, bisa dinikmati oleh lidah kita alias bisa dimakan (edible).

Sayangnya, hanya “segelintir” orang saja yang tahu soal cangkir plastik ini. Saya yakin, jika masyarakat luas mengetahui hal ini, mereka pasti ikut menggunakannya. Dan gelas dua fungsi itu bakal laku keras di pasaran.  Jika penyebabnya kurangnya sosialisasi, pada zaman serba social media, mengapa medium ini tidak dimanfaatkan secara “kencang” oleh produsen cangkir plastik rumput laut.

Menurut Bapak DR. T. Rameyo Adi, tidak mudah mendapatkan perhatian masyarakat terhadap suatu produk yang baru. Apalagi jika produk tersebut belum selesai penelitiannya. Semestinya peneliti tidak mengerjakan juga perihal pemasaran, menunjukkan pembagian kerja masih belum tertata baik. Jika menyinggung cangkir dari rumput laut, penelitian sudah dilakukan dan hasilnya aman untuk kesehatan, juga lingkungan.

Gelas Rumput Laut – Photo: Evoware

Helianti Hilman menambahkan permasalahan yang juga terjadi ialah investor belum berani mendanai penelitian maupun pengembangan usaha, karena menganggap bahwa produk baru punya resiko lebih besar dibanding produk yang telah ada sebelumnya. Namun, Helianti mengambil contoh merk smartphone terkenal asal Amerika, di awal proses mereka melempar produk ke pasar yang sebenarnya masih harus diperbaiki dan dikembangkan. Penjualan tahap pertama tidak mengecewakan, sebab pasar antusias terhadap produk dan pengalaman baru yang mereka dapat. “Jadi lempar saja produk itu meski penelitian belum 100% selesai, terlebih kita sudah tahu produknya aman di tubuh manusia dan alam,” ujar Helianti.

Rumput laut memang banyak manfaatnya, ia tidak hanya menjadi makanan, tapi bisa menjadi sabun, bahkan gelas yang melindungi manusia dan alam sekitar.  Pun, perihal kondisi kesehatan perairan Indonesia bagian barat tidak lagi baik. Sehingga rumput laut dapat tumbuh dengan baik dan diproduksi berkuantitas besar berasal dari perairan Indonesia bagian timur. “Perairan juga harus rileks, tidak bisa digenjot, seperti halnya manusia,” ucap Bapak DR. T. Rameyo Adi.

Sayang, sekali lagi sayang, permasalahan sampah plastik, tidak hanya sekitar itu saja. Pula, banyak masalah yang mencari tangan-tangan yang mampu mewujudkan solusi. Sebelum melangkah lebih jauh, mari bersama melihat fakta sampah plastik.

Fakta Tentang Sampah Plastik di Indonesia

  1. Sejak tahun 2005 sampai tahun 2018, jumlah sampah plastik meningkat jadi 17%.
  2. Berdasarkan data Asosiasi Industri Plastik Indonesia (INAPLAS) dan BPS, jumlah sampah di Indonesia mencapai 64 juta ton/tahun—sebanyak 3.2 juta ton adalah sampah plastik yang dibuang ke laut, 10 milyar lembar/tahun atau 85.000 ton kantong plastik dibuang ke lingkungan—sampah plastik mudah terurai menjadi mikroplastik berukuran 0,3—5 mm dan mudah dikonsumsi hewan laut (sumber: Ibu Susi Pudjiastuti)
  3. Sebesar 30% komposisi sampah adalah plastik. Pada tahun 2050, diprediksi bakal banyak sampah di laut dibandingkan ikan dan hewan laut lainnya. (Sumber: Bapak DR. Novrizal Tahar)
  4. Sekitar 50%, daging ikan di perairan Pulau Bali mengandung plastik, tidak berbeda dengan Laut Mediterania. (Sumber: Bapak DR> Novrizal Tahar)
  5. Di bawah laut, jumlah sampah kresek lebih sedikit dibandingkan sedotan dan kemasan makanan. (Sumber: Tania, pengalaman dari kegiatan komunitas diving)
  6. Di Indonesia, Tempat Pembuangan Akhir (TPA) masih 50% yang bisa dikelola secara baik dan benar, sisanya belum. (Sumber: Bapak DR> Novrizal Tahar)
  7. Urutan jenis sampah plastik yang merupakan permasalahan besar adalah: kantong plastik sekali pakai, sedotan plastik, dan styrofoam.

Kantong plastik sekali pakai telah mencapai angka 10 milyar lembar (tidak termasuk yang beredar di pasar tradisional); sedotan plastik dalam sehari mencapai 93 juta lembar sedotan; sedangkan styrofoam, kemasan makanan instan dan cemilan (snack), sachet (misal bungkus kopi), botol minuman plastik, dan alat makan plastik (misal: sendok) masih diaudit oleh Greenpeace.

  1. Masih digunakannya plastic vacuum yang berfungsi sebagai kemasan makanan/minuman yang diawetkan atau penyimpanan, seperti beras, kemasan pupuk, sabun, gula, dan lainnya. Plastik vakum sulit didaur ulang karena ketebalannya. Jika bisa pun, digunakan untuk bahan pembuat ubin.

 

Sedotan Bambu by Javara Culture

Melihat fakta di atas, bisa dibilang banyak produk yang menggunakan plastik, khususnya yang berhubungan dengan makanan dan minuman. Bagaimana menurut kamu, sangat menyeramkan atau biasa-biasa saja?

 

Sampah Jadi Bisnis dan Kebijakan yang Mendorong Perilaku Masyarakat

 

Namun, dari ratusan juta jumlah penduduk Indonesia, masih ada orang-orang yang tidak ingin jadi ‘batu’. Kesadaran dan kekhawatiran mereka, membuahkan produk inovasi. Ingin tahu siapa dan apa saja yang dilakukan demi melindungi manusia dan melestarikan alam yang penuh anugerah ini?

  1. Helianti Hilman, bukan hanya pegiat bahan lokal untuk produk kuliner dan lainnya, tapi juga terus berupaya mencari tanaman lokal yang bisa berfungsi sebagai pengganti alat makan dan minum. Contohnya penggunaan bambu sebagai sedotan di restorannya, Javara Culture.
  2. David Christian, pendiri Evoware, mengembangkan cangkir/gelas jelly berbahan rumput laut, kemasan yang bisa larut, contohnya: sachet untuk kopi atau bumbu makanan, dan lembar plastik berasal dari kelapa.
  3. Kevin Kumala bersama 7 temannya, meneliti jagung, kedelai, dan singkong pada tahun 2010. Mereka menciptakan lembaran plastik yang terbuat dari singkong. Produknya laris di Eropa dan Australia dan keberhasilannya disiarkan oleh media CNN, BBC, dan lainnya.
  4. Pemilik PT. Tirta Marta, Sugianto Tandio memproduksi plastik menggunakan teknologi Oxium (agar plastik lebih cepat terurai) dan Ecoplas (plastik yang terbuat dari tepung singkong).
  5. TeloBag Natural Indonesia, membuat kantong tas nabati yang terbuat dari tepung singkong dan turunan minyak nabati. Jika dimasukkan ke gelas berisi air panas, kantong nabati ini akan larut dalam air.
  6. Silahkan share innovator sampah plastik dan pengguna plastik nabati yang kamu kenal lainnya.

 

Saat ini, para peneliti dan pelaku yang aware menjaga keseimbangan alam terus melakukan penelitian plastik nabati (bioplastik) untuk dapat digunakan pada jenis produk yang lebih luas. Tapi saat ini pun, kesadaran masyarakat Indonesia terhadap sampah masih sangat minim, dan menjadi inti permasalahan. Ditambah para pelaku bisnis yang mengeluhkan harga mahal (harga bisa 2 kali lipat lebih tinggi dari produksi), jika mereka mengganti kemasan yang aman bagi manusia dan alam. Tentu, hal ini bakal berubah, bila pengunaan plastik nabati meningkat, harganya pun akan berkurang mengikuti permintaan.

Beberapa yang hadir dalam forum group decision sepakat kesadaran masyarakat harus didorong. Bahkan Bapak Novrizal, mengabarkan slogan baru dari Kementerian Lingkungan Hidup, yaitu “Memilah Sampah”, memilah sampah organik dan non-organik.

“Kalau dulu kita akrab dengan ‘buang sampah pada tempatnya’, sekarang masyarakat harus belajar ‘memilah sampah’ ~ DR. Novrizal Tahar

 Tujuannya agar sampah bisa jadi sumber daya baru. Level kesadaran masyarakat terhadap produk daur ulang harus dijadikan social capital yang permanen. Satu kabupaten harus memiliki bank sampah, sebab sekarang ini baru 5000 bank sampah yang berjalan.

Mengetahui hal ini, terlintaskah di benak kamu, sampah dan plastik nabati bisa menjadi peluang bisnis yang bakal menggeruk keuntungan besar?  Sebelum dimulainya FGD, saya dan Helianti telah terbesit hal ini dan membicarakannya.  “ … dan bisnis bakal besar bila didukung kebijakan yang efektif dan efisien,” mengutip ucapan Helianti Hilman.

Menurutnya,

“Kebijakan itu penting untuk mendorong pelaku bisnis, Ini bisnis B2B, pemerintah harus bikin policy yang cepat dan lebih mainstreaming.

 

Photo: Visi-Jabon.com

Sekali lagi, Helianti mengambil contoh negara lain: Prancis yang progresif mengenai peraturan dan mengubah pemikiran perihal sampah menjadi bisnis. Mereka keluarkan peraturan, pertama setiap supermarket tidak boleh ada food waste, kalau sampai ada bisa dipenjara. Sehingga mau tak mau, mereka bekerja sama dengan shelter-shelter untuk menampung sampah. Pemerintah sampai turun tangan untuk mengatur social dan bisnis. Dan industri di Belanda, sejak awal produksi, mereka sudah mendesain bagaimana meminimalkan produk yang tidak terbuang percuma. 

Terkait hal tersebut, pada akhirnya, bisnis yang akan menggerakkan. Bisnis yang seperti apa? Bisnis kreatif yang punya mindset melindungi alam semesta.

Menunggu kesadaran masyarakat agar menggunakan plastik yang aman bisa jadi berjalan lambat. Untuk membuang sampah pada tempatnya saja, masyarakat masih cuek buang sampah di tempat pariwisata, di jalan raya, atau di mana pun. Mau tak mau, Pemerintah Indonesia harus segera membuat kebijakan, sebelum mengalami kerusakan yang lebih parah. 

Bapak DR. Novrizal Tahar menanggapi ucapan Helianti dengan menceritakan kekagumannya pada Pemerintah Daerah Banjarmasin yang menggerakan masyarakatnya untuk gunakan tas anyaman (kerajinan tangan) yang terbuat dari bahan gambut—sekarang menjadi tren. Sedangkan Balikpapan, Bogor, Bandung, dan Bali mulai melarang pemakaian kantong plastik sekali pakai dan syrofoam.

Tempat wisata di Malang turut membuat regulasi sendiri. Pengunjung yang masuk ke tempat wisata, semua barang bawaannya harus didata, setelah keluar, jumlah barang harus sama. Barang-barang seperti botol minuman dan kemasan snack dikumpulkan dan mereka mendapat bayaran. Selanjutnya, masyarakat sekitar dapat menjualnya ke bank sampah. Beliau juga menambahkan bahwa Bank Sampah Induk Jakarta Barat, omsetnya sudah mencapai 3.5 milyar.

 

Aplikasi MySmash Ajak Masyarakat Kelola Sampah

 

Aplikasi Kelola Sampah My Smash

 

Kementerian Lingkungan Hidup memang belum membuat kebijakan seperti yang telah dilakukan Perancis, Belanda, dan pemerintah daerah di Banjarmasin. Namun, untuk mendorong perilaku sadar sampah, kementerian membuat MySmash, aplikasi yang menghubungkan masyarakat dengan Bank Sampah. Pengguna bisa mengetahui TPS atau Bank Sampah Pemda, sehingga bisa membawa sampah yang telah dipilah. Atau pihak Bank Sampah yang akan mengunjungi rumah-rumah untuk menjemput sampah mereka.

MySmash merupakan bagian dari website www.smash,id yang juga terdiri dari www.banksampah.id dan e-smash (aplikasi manajemen persampahan terintegrasi untuk pemerintah daerah di seluruh Indonesia untuk mendukung penerapan Smart City dalam rangka tata kelola pemerintahan yang lebih ba

Kegunaan website banksampah.id untuk menghubungkan Bank Sampah di seluruh Indonesia, MySmash, untuk meningkatkan partisipasi masyarakat melalui aplikasi yang menghubungkan dengan Bank Sampah terdekat, sedangkan e-smash (www.e.smash.id) merupakan modul Smart City di daerah tersebut.

Keunggulan dari MySmash adalah adanya fitur Cek Lokasi Bank Sampah dan Jemput Sampah, Toko Online Kerajinan Sampah, serta Smash-Pay yaitu uang elektronik dari sampah

Sambil menunggu kebijakan pemerintah, tidak ada salahnya kita yang hidup di era milenial, menggunakan aplikasi MySmash.

Dan pada tanggal 7 November 2018, McDonald’s dan Kentucky Fried Chicken akan meluncurkan pengunaan bag recycle—81 gerai McDonals’s bakal serentak memakai tas daur ulang. Perubahan pelaku industri dengan nama brand besar seperti mereka, jelas dapat mempengaruhi perilaku masyarakat untuk sadar dan melakukan hal yang sama.

Pun, pemerintah sedang melirik bisnis start up sektor informal, salah satunya adalah bisnis transportasi online yang telah menjadi kebutuhan masyarakat. Semoga pengunaan plastik nabati menjadi kebutuhan masyarakat Indonesia.

Sementara itu, kita tanyakan pada diri sendiri, apakah kita Generasi Pengguna Berat Sampah Plastik Atau Inovator Plastik Nabati. Tidak menjadi inovator pun tidak apa-apa, setidaknya kita sadar tidak menggunakan sampah plastik yang berbahaya.

 

 

Sumber artikel:

  1. https://www.mmindustri.co.id/singkong-jadi-plastik-kemasan-begini-teknologinya/
  2. https://theconversation.com/rumput-laut-jawaban-indonesia-terhadap-krisis-sampah-plastik-dunia-97273
  3. https://www.reuters.com/
  4. http://www.fao.org/docrep/field/003/AB738E/AB738E04.htm