Sekilas Tentang Festival Bhego Li Bheto

6
792

Foto Festval Musik Bambu Ngada Flores

Musik bambu hampir ditinggalkan masyarakat Ngada, Flores. Padahal setiap harinya, kegiatan mereka tidak lepas dari bambu, apalagi sebagian pemain musik bambu menempati rumah adat asli yang dibangun dari bambu (Kampung Wogo). Kebiasaan mereka pun berkumpul sambil bermain musik, bernyanyi, dan menari. Dahulu, mereka masih memainkan alat musik bambu secara lengkap untuk berkumpul-kumpul sekedarnya. Tapi, sekarang ini mereka berkumpul hanya memainkan alat musik gitar yang bukan berasal dari bambu. Kecuali seruling. Tapi tidak alat musik bambu lainnya, seperti Kolintang, Bombardom (berfungsi sebagai Bass), Gendang, Voidoa, dan lainnya yang berasal dari bambu.

            Beruntung, tim dari Yayasan Kelola sebagai pemerhati dan bergerak di bidang seni dan budaya, tak ingin alat musik bambu di Ngada punah. Generasi muda atau generasi selanjutnya harus dapat menikmati dan melestarikan alat musik bambu ini. Yayasan Kelola menemukan potensi seni budaya di Kampung Wogo, Desa Ratugesa dan Desa Malanuza.

            Bekerjasama dengan PNPM (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat) yang juga turut berperan memberikan dana hibah komunitas kreatif  dengan  melakukan pendekatan budaya. Program ini bertujuan meningkatkan pemberdayaan manusia dan keterlibatanya dalam proses pembangunan desa. Sedangkan Komunitas Kreatif adalah salah satu program Yayasan Kelola untuk mendorong kelompok marginal menggunakan ekspresi kreatif menyuarakan aspirasinya.

            Menurut Kepala Desa Ratugesa, Bapak Benedictus Kodo, tingkat kemiskinan di wilayah Ngada-Bajawa masih tinggi dan timpang. Pendapatan rata-rata sekitar 1 s/d 1.5 juta per bulan/keluarga. Pola pikir penduduk masih sempit dan kental terhadap budaya lama: Pasrah kepada alam. Seperti diketahui, tanah Flores termasuk Ngada – Bajawa sangat kaya dengan hasil alamnya: kemiri, kopra, kopi, cengkeh, jahe, besi (kastela), jagung, dan lain-lain. Sehingga, mereka tidak terlintas untuk berpikir ke depan.

            Untuk mengenalkan dan menampilkan alat musik bambu ke luar Ngada-Bajawa dibutuhkan biaya. Alat musik yang dulu digunakan sudah tidak bisa dimainkan lagi. Sehingga, mereka perlu mengganti yang baru dengan suara bagus, pembaruan, mreancang ulang dan bongkar pasang. Bambu  berusia sekitar 3 tahun mempunyai kualitas baik untuk dijadikan alat musik.

            Kostum pemain musik, penyanyi, dan penari. Supaya menarik mata penonton, perlu pakaian penuh warna meriah, kain tenun khas Flores, pernak-pernik baju dan perhiasan.  Semua itu perlu biaya yang tidak sedikit. Urusan transportasi, makanan saat latihan, dan biaya tak terduga lainnya juga butuh diperhatikan. Penyebab inilah yang membuat mereka enggan memainkan musik bambu kembali. Dengan pendapatan yang masih di bawah rata-rata, tidak mudah bagi mereka untuk berkembang. Kebebasan berseni pun nyaris mati karena sebelumnya mereka tidak melakukan apa-apa. Entah karena tak ingin atau tidak tahu caranya.

            Akhirnya, mereka membuat dan memberikan proposal kepada Yayasan Kelola yang bekerjasama PNPM. Proposal mereka pun disetujui sebagai salah satu kelompok masyarakat marjinal penerima hibah untuk melestarikan, mengembangkan, memperkenalkan, mengekspresikan, berkreasi, menurunkan ke generasi muda, memberdayakan, dan membudidayakan seni musik bambu. Bulan October 2015, mereka mulai latihan menuju Festival Musik Bambu, 10 Maret 2015.

            Musik bambu dari Ngada-Bajawa pernah ‘hidup’ di era tahun 90-an. Mengingat masa lalu dan menghadapi masa kini membuat semua orang yang berpijak di tanah Ngada – Bajawa memiliki harapan. Dari berbagai sudut harapan mencuat. Dipondasi kecintaan terhadap seni musik dan tarian, mereka berbicara dengan binar-binar mata antusias dan angan.

Kepala Desa Ratugesa, Bapak Benedictus dan Kepala Desa Malanuza, Bapak Yohaness,  memiliki harapan yang sama. “Musik bambu harus terus hidup, tidak hanya di desa saja, kalau perlu sampai dikenal oleh masyarakat Indonesia. Semoga musik bambu mampu meningkatkan pendapatan ekonomi para pemain dan perkembangan desanya.” Bapak Benedictus menambahkan,”Dalam suka dan duka harus tetap semangat. Sumber daya manusianya perlu ditingkatkan dan diberikan wawasan serta pemerataan pendidikan.”

Harapan dari seorang wanita Ngada – Bajawa, Flores, Ibu Agustina, pemain musik Kolintang Bambu, “Menyakinkan teman-teman lain untuk melatih musik bisa menghibur diri dan orang lain. Kelompok ini harus tetap hidup dan berkembang tanpa melihat dana yang terbatas.”

Para Ibu yang lanjut usia dan pemain seruling bambu mempunyai harapan sederhana, “menghibur orang lain dan diri sendiri. Terus membawa keriaan kepada orang-orang.” Bapak Nikolaus Nono, nara sumber seni dan budaya Ngada, pelatih, pemain musik, bahkan akan terus bermain musik alat bambu dan melestarikannya sampai nafas terakhir. Seorang Satgas dan para mahasiswa PKL di Ngada mengakui sangat senang alat musik bambu mengudara kembali. Dan mereka sangat mendukung seni musik bambu ini.

Sebagai langkah awal, mereka menggelar Festival Musik Bambu (Festival Bhego li Bheto) bertema “Satu tekad membangun desa”, hari senin, 10 Maret 2015, di Gereja Paroki, Seminari Mataloko, Balewa, Ngada, Flores, NTT. Sebuah langkah awal yang cukup sukses, meski sound system tidak bagus, tapi suara dari para penyanyi bisa terdengar di seluruh ruang dan semangat semua pemain sangat terasa.

Apakah harapan-harapan mereka akan terwujud, bila kita sebagai rakyat Indonesia tidak mengenal dan memperkenalkan seni dan budaya ini kepada cakupan yang lebih luas?  Dunia harus tahu betapa indahnya alat musik bambu ini. Dan, kemunculan Yayasan Kelola –dan program komunitas kreatif, dan PNPM, perlu mendapatkan dukungan dari masyarakat luas. Yayasan Kelola dan PNPM berharap setelah kegiatan ini, mereka lebih berani menyuarakan aspirasi dalam berkreasi seni, budaya, yang termasuk program meningkatkan pembangunan desanya.

Sengaja menempatkan kutipan ini di bagian akhir untuk menyimpulkan tentang kisah di balik Festival Bhego Li Bheto.

If art is to nourish the roots of our culture, society must set the artist free to follow his vision wherever it takes him.” –John F. Kennedy.

 

6 COMMENTS